Lihat ke Halaman Asli

Selamat Bertambah Usia, Ayahanda Ali Mustafa Yaqub!

Diperbarui: 4 Maret 2016   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"..كن خادما لرسول الله"

“Jadilah pengabdi bagi Rasulullah Saw..”

--Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Itu salah satu dari sekian banyak nasehat beliau kepada kami yang tak terhitung jika mesti mengurutkannya satu per-satu. Beliau ayah kami, dan kami adalah anak-anak ideologis beliau, di berbagai kesempatan, di sela beliau memberikan dawuh kepada kami, beliau acapkali menyampaikan, “anaa abuukum, wa antum abnaa’i. ad’uukum daa’iman ba’da shalah wa ba’da ad-diraasah.al-muhim, ijtahiduu wastaqiimuu fi ad-diraasah.” Pertama kali saya mendengar ucapan itu dari beliau, saya terharu. Bisa mengaji dan menjadi santri beliau, adalah sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Sebelum lebih jauh, sebenarnya inisiatif untuk menulis catatan singkat ini berawal pertama kali dari Broadcast yang saya terima melalu Blackberry Mesenger dan beberapa postingan alumni almameter di Darus-Sunnah Interational Institute for Hadith Sciences yang tersebar di sosial media mengenai rangka “tahadduts binni’mah” ulang tahun Ayahanda kami, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, yang ke-64. Semua nampak bersuka cita dengan merubah display picture (DP) gambar beliau bersama Bu Nyai dengan selipan ucapan selamat dan doa kebaikan. Dalam suasana euforia ini, saya pun turut –meski terkesan agak latah, untuk sekadar menuliskan ucapan selamat dan doa di akun Twitter.

Mulanya, saya tidak benar-benar ingat, kapan tepatnya beliau lahir –semoga saya tidak termasuk santri yang durhaka, selain yang saya tahu, beliau lahir dan menjalani masa kecil dari daerah Batang, Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan dengan berpindahnya beliau ke Jombang, Jawa Timur, nyantri di Pondok Pesantren Seblak dan Tebu Ireng. Menempuh Strata I dan II di Universitas King Saud, Riyad. Mengambil Strata III di Hyderbead, India dan kembali ke Indonesia untuk mengajar di beberapa Universitas Islam di Indonesia. Beliau diangkat menjadi Sekjen Ittihadul Muballighin, keterlibatan dalam komisi fatwa MUI, Syuriah PBNU hingga diangkat menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Saya –kami, anak-anaknya, jauh lebih hafal segala tuah-tuahnya, ketimbang detail sosoknya. Bukan tanpa alasan atau bermaksud tak peduli, hal tersebut wajar, sebab beliau tak pernah mengungkit, terlebih membesar-besarkan diri karena ketawadhu’an yang melekat pada diri beliau.

Peringatan pertambahan usia, barangkali bukan suatu yang amat penting bagi beliau. Pernah pada suatu kali –saya mendapat cerita ini dari salah seorang musyrif yang ketika itu bersama beliau—ditelepon oleh anak semata wayangnya, Ziya’ul Haramain yang saat itu tengah menempuh S1 di Universitas Madinah. Tujuannya tak lain untuk mengucapkan selamat bertambah usia, namun beliau menjawab (diterjemahkan dari bahasa arab), “Tak harus mengucapkan selamat, yang penting kamu doakan bapak terus di sana.” Betapa rendah hatinya sosok ulama besar sekaliber beliau. Tak berlebihan jika ia kini, bahkan hingga kapan pun, menjadi sosok panutan bagi umat.

Menjajaki hampir tiga tahun saya, serta kawan-kawan seangkatan, menjadi mahasantrinya, tak pernah ada sekali pun acara atau pun tasyakuran pertambahan usia beliau. Di halaqah pun, tak pernah beliau menyinggung soal perayaan pertambahan usia. Dan hingga tulisan ini rampung diselesaikan, saya tidak tahu, apakah inisiatif untuk memosting ucapan selamat dengan hastag #ultahAMY64 diketahui atau tidak oleh beliau, yang jelas saya mengapresiasi niatan baik kawan-kawan almameter untuk menjadikan beliau sosok yang dapat dikenal secara lebih luas oleh dunia, secara umum dan di kalangan masyarakat Indonesia sendiri pada khususnya.

Untuk sekadar merayakan hari lahir beliau, di postingan kali ini, tak ada yang baru, selain saya repost beberapa catatan pengalaman pribadi yang pernah saya tulis di kisaran tahun 2014 silam mengenai Pak Kyai. Semoga bermanfaat dan masih layak untuk dibaca:

 

Pak Kyai, Mahasantri, Tanzhif Jama’i

(Jum’at 22 August 2014.)

 

Genap seminggu sudah  berada di sini setelah kedatangan dari kampung halaman minggu lalu. Masih ada sisa-sisa rindu yang terselip pada keluarga. Rasanya baru kemarin libur, sekarang sudah harus kembali berkutat dengan tugas-tugas baru yang kian menumpuk. Sembari mencuri-curi waktu, mungkin ini tulisan pertama untuk semester baru kali ini. Sembari menghibur diri karena rencana untuk nonton XXI berkali-kali harus diurungkan karena waktu yang kurang bersahabat dengan jadwal kegiatan. Bahkan untuk weekend sekalipun. Karena sekarang, malam minggu digunakan untuk kegiatan mudzakarah. Semoga Allah melimpahkan keberkahan waktu dan umur pada kita.

Hari ini Tanzhif. Ya, ini intruksi langsung yang diberikan  Pak Kyai agar Tanzhif dipindah menjadi hari jumat supaya menyesuaikan dengan waktu libur yang pada mulanya hari Minggu kemudian dirubah menjadi hari ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline