Lihat ke Halaman Asli

Tiga Sajak Imam Budiman

Diperbarui: 28 September 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gulali yang Menjadi Puisi di Dalam Kepala

Seorang perempuan menyilang kelopak bunga di celah gulita. Menelungkup kedua belah tangan di dada cemara. Entah apa yang tengah ia ingini. Tapi konon ia suka sekali membagi kembang gulali. Pada anak-anak puisi juga desa antah berantah. Dikisahkannya, gulali itu berwarna merah muda. Kemudian ia lepas tertawa, gulali itu, katanya lagi, serupa awan-awan yang luruh dijatuhi kesumba. Gulali itu senantiasa berputar di selasar kepalanya sebelum ia memadat dijahili oleh angin yang berasal dari sedotan penjual gelembung pasar malam. Dirinya justru ikut-ikutan limbung. Kita tak pernah dapat paham. Apa sekarang memang sudah waktunya kita untuk mengerti. Bahwa sebenarnya itu, gulalimukah?

Perempuan itu masih saja menganyam dedaun ratap di antara sela keinginan dan harap. Soal gulali tersebut yang kerap mengundang keributan-keributan kecil. Perempuan itu memilih hening di balik sengguk tangisnya. Selalu ada yang menyesakkan, tertahan juga urung terucap. Dan serta-merta, gulali itu tak ubahnya menjadi melankolia yang hening dan senyap. Kitakah yang menjadi dungu karena gulali? Atau memang, kaukah yang selama ini tak jua dapat lagi kukenali? Apa benar, hatimu-hatiku telah benar-benar menjadi semacam firman dari ayat gulali? Sehingga kita perlu menafsiri kembali apa yang terlewati.

Perempuan itu kini tengah duduk sebatang rebah, setelah menempuh perjalanan tanpa huruf dan sajak. Ia merenungi dirinya sendiri di sejejeran padang pepohon ketapang, sekian mantra-mantra menyusup jahat meradang. Kau tak bergeming dan justru memilih untuk segera pulang. Aku menawarkan diri untuk sekadar mengantarmu di perbatasan gang. “Rumahku ada di sepetak ruang dalam kepalamu,” ujarmu sembari mengalihkan pandang, sejauhnya. Sebab terkadang, pertemuan singkat lebih sering kita jadikan dalih untuk bersapa dan mengenang.

Bagaimana pun, kita, aku dan kau sama-sama telahir dari rahim sabda kunang.

 

Darus-Sunnah, 2015

-Mu

 

dalam kopi

namamu

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline