Lihat ke Halaman Asli

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang Masih Merajalela di Indonesia

Diperbarui: 28 Oktober 2024   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan salah satu pelanggaran hukum yang dapat merugikan masyarakat dan juga suatu negara. Secara singkat, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah praktik-praktik yang melanggar hukum, merugikan kepentingan umum dan menguntungkan kepentingan pribadi. 

Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin corruptus atau corruptio yang berarti merusak atau menghancurkan. Korupsi sendiri di Indonesia berarti penyelewengan atau penyalahgunaan dana negara untuk kepentingan individual atau orang lain. Korupsi ini perlu diberantas karena merupakan kejahatan yang sangat luar biasa merugikan negara.

Sedangkan kolusi merupakan suatu hal nakal yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Dimana kolusi ini adalah perbuatan tidak jujur yang membuat kesepakatan sembunyi-sembunyi yang dibumbui dengan pemberian uang agar segala urusan berjalan dengan lancar. 

Adapun nepotisme merupakan konflik kepentingan yang timbul saat seorang pegawai birokrasi atau pejabat publik dipengaruhi oleh kepentingan individu ketika menjalankan tugas. Pada hakikatnya, nepotisme membukakan peluang bagi kerabat atau teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan, dan menutup akses bagi orang lain.

Amin Rais tokoh reformis pada tahun 1999 menyebut bahwa mesin birokrasi di Indonesia menjadi mesin KKN yang sangat produktif. "Dari skala semut sampai skala gajah, maka KKN akan selalu menyertai proses birokrasi di Indonesia," tulis Amien Rais dalam kata pengantarnya untuk buku Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia. Amin dengan keras mengatakan dalam sudut pandang agama, seseorang yang memberikan toleransi pada perilaku KKN, "Maka, tidak berlebihan jika dikatakan seseorang tersebut harus diragukan keimanannya," katanya saking geramnya. Sampai sekarang, kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme masih ada. Seolah-olah, pelaku tak benar-benar belajar dari kasus-kasus sebelumnya. Sekali diberantas satu, justru bermunculan lagi di banyak instansi. 

Tentang korupsi, pemberantasannya melemah pada era Jokowi. Sejumlah lembaga antikorupsi memberi catatan khusus pada periode ke dua masa jabatan Jokowi, menjelang masa akhir jabatan, Jokowi di nilai membawa upaya pemberantasan korupsi kembali pada titik nol. Catatan serupa dalam laporan hasil pemantauan korupsi tahun 2023 bahwa kasus korupsi telah melonjak tiga kali lipat dari 271 menjadi 791 pada periode kedua Jokowi. 

"Amburadulnya tren pemberantasan korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara memberikan hukuman berat kepada koruptor" kata Peneliti ICW Diky Anindya. Itu terlihat data tren vonis bagi para koruptor pada 2020-2022, yang hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan.

"Negara juga masih tidak punya taring untuk memiskinkan para koruptor" lanjut Diky. Terlihat dari perbandingan hasil vonis kerugian negara dengan nilai uang yang bisa dikembalikan pada 2020-2022.

Kejaksaan Agung, KPK, dan polri dianggap melempem karena trend buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi. Minimnya pengembalian uang negara dalam kasus korupsi yang ditangani Kejagung ini tidak ditampik Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana. Ketut mengakui Kejagung masih membutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan kerugian uang negara dalam setiap kasus yang ditangani. Bukan pengembalian uang negara yang yang menjadi permasalahan polri, melainkan profil tersangka koruptor yang ditangkap. Polri hanya berani menangkap tersangka korupsi tingkat pejabat pelaksana saja. Bahkan tidak ada tokoh besar tersangka koruptor yang ditangani polri.

Buruknya pemberantasan korupsi disebabkan oleh pengesahan revisi Undang-undang KPK pada 2019. Yang mana RUU ini telah mencerabut independensi KPK dengan menempatkannya dibawah rumpun eksekutif. Aturan ini, membuat KPK semakin mudah disetir oleh kekuasaan. 

Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmauan Jokowi dalam menegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlihat dari gelagatnya seolah abai terhadap desakan koalisi masyarakat sipil terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, juga nihil akan kemauannya untuk agenda pemberantasan korupsi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline