Hari Guru Nasional 2024 datang dengan gegap gempita, diselimuti pujian untuk para pendidik yang disebut sebagai pilar peradaban bangsa. Namun, di balik seremonial yang megah, gemerlap apresiasi, dan pidato penuh haru, ada ironi yang terlalu sering diabaikan: nasib guru swasta, terutama yang mengabdikan dirinya di madrasah-madrasah kecil di sudut negeri ini. Mereka adalah pahlawan tanpa jaminan, berjuang dalam kesunyian untuk mencerdaskan generasi bangsa meski kesejahteraan seringkali menjadi utopia.
Menggali Kenyataan Hidup Guru Swasta
Dalam realitas pendidikan di Indonesia, guru swasta seringkali berdiri di garis depan, mengisi kekosongan yang tak mampu dijangkau oleh sekolah negeri. Madrasah swasta, misalnya, banyak beroperasi di daerah terpencil, dengan fasilitas minim dan dana operasional yang bergantung pada iuran siswa atau donasi masyarakat. Di tengah kesenjangan sistem ini, guru-gurunya bertahan hidup dengan gaji yang tak jarang di bawah upah minimum, tanpa tunjangan layak, apalagi jaminan sosial.
Mengutip data terkini, hampir 60% guru swasta di madrasah menerima penghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Mereka harus memenuhi kebutuhan hidup, membiayai pendidikan anak, bahkan mendanai kegiatan belajar-mengajar secara mandiri. Ironisnya, status mereka sebagai pendidik yang sah diakui oleh negara, tetapi tak ada kebijakan yang sungguh-sungguh melindungi hak-hak mereka.
Retorika Tanpa Implementasi
Setiap Hari Guru Nasional, pemerintah berbicara tentang pentingnya pendidikan dan peran guru sebagai agen perubahan. Namun, retorika ini sering tidak selaras dengan kebijakan nyata. Alokasi anggaran pendidikan masih jauh dari mencukupi, terutama bagi sektor pendidikan swasta. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), misalnya, sering terlambat cair atau tidak cukup menutupi kebutuhan operasional. Akibatnya, para guru swasta harus bergantung pada kebaikan pengelola madrasah atau masyarakat sekitar.
Ketika guru negeri menikmati fasilitas tunjangan sertifikasi, gaji ke-13, dan jaminan pensiun, guru swasta hanya bisa berharap pada kepedulian pihak swasta atau filantropi individu. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan serius yang menimbulkan rasa ketidakadilan di antara sesama pendidik.
Perjuangan Melawan Ketidakadilan Sistemik
Guru swasta, meskipun kerap dipinggirkan, tetap menunjukkan dedikasi luar biasa. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, dan membentuk karakter siswa dalam kondisi yang serba terbatas. Perjuangan mereka adalah bukti nyata bahwa panggilan seorang pendidik melampaui batasan materi. Namun, apakah kita pantas terus membiarkan mereka memikul beban ini sendirian?
Saatnya pemerintah berhenti memperlakukan guru swasta sebagai entitas marginal dalam sistem pendidikan nasional. Reformasi kebijakan yang inklusif dan berkeadilan harus menjadi prioritas, termasuk peninjauan ulang skema pendanaan dan pemberian akses terhadap jaminan sosial yang setara.