Lihat ke Halaman Asli

Nasrullah MQK, Ternyata Orang Jawa Ramah

Diperbarui: 6 Desember 2017   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah seorang peserta sedang diuji oleh Dewan Hakim

Alhamdulillah, aku berkesempatan untuk hadir dalam gelaran Musabaqoh Qira'atil Kutub (MQK) Nasional ke-VI di Jepara pada Sabtu (2/12) bersama rombongan tim Kompasianer yang keren. MQK ini hanya diadakan sekali dalam tiga tahun, jadi terbilang cukup istimewa. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut bahwa MQK adalah ajang olimpiadenya para santri dari seluruh penjuru nusantara.

Aku dan 19 orang kompasianer terpilih bertugas untuk meliput kegiatan MQK agar masyarakat luas semakin tahu dan aware terhadap kompetisi yang sangat bermanfaat ini. Dengan tajuk "Dari Pesantren untuk Penguatan Karakter dan Kepribadian Bangsa" diharapkan akan muncul generasi bangsa yang lahir dari pesantren dengan karakter dan kepribadian yang kuat.

Kompetisi diadakan di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadiin. Pondok yang berdiri dari tahun 1883 ini disulap menjadi klaster-klaster outdoor untuk tempat lomba dengan berbagai macam kategori. Lalu aku pun mengamati salah satu kategori lomba yaitu Fiqih Marhalah Ulya. Peserta MQK diminta membaca kitab kuning dengan halaman yang ditentukan juri, kemudian mengartikannya. Setelah itu baru juri menguji dengan mengajukan sejumlah pertanyaan.

Sebelumnya aku tidak begitu paham isi kitab kuning. Ternyata sangat lengkap dan komprehensif. Saat itu santri tersebut membacakan bagian muamalah. Juri bertanya mengenai hukum perniagaan, hutang piutang, riba, dan santri pun menjawabnya dengan sangat tangkas.

Kemudian, aku berjalan lagi melihat klaster perlombaan yang lain. Di sepanjang jalan, UKM dan pedagang kaki lima turut memeriahkan acara mulai dari bazar baju, makanan, pernak pernik, juga pijat dan bekam. Pokoknya meriah dan ramai.

Bazar aneka kacamata

Batik Pekalongan

Aneka jajanan

Pernak pernik

Layanan bekam

Humas Direktorat Jendral Pendidikan Islam KEMENAG RI Muhtadin menyampaikan dalam pengarahan ke tim Kompasianer bahwa ada tiga tingkatan lomba yang diadakan, yakni Ula, Wustho, dan Ulya yang disebar ke 25 tempat lomba. "Kita bagi lomba menjadi 3 tingkatan yaitu Ula untuk usia maksimal 14 tahun 11 bulan, Wustho untuk usia maksimal 17 tahun 11 bulan, dan Ulya untuk usia maksimal 20 tahun 11 bulan", jelas Muhtadin.

Pengarahan dari Pak Muhtadin kepada tim Kompasianer

Bertemu Rifki dan Nasrullah

Tak puas hanya mengamati lomba, aku mencari peserta untuk aku wawancara lebih dalam. Aku bertemu dengan adik kecil dari pulau seberang. Muhammad Rifki namanya. Anak kelas 6 MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau setara SD ini mewakili kontingen Sulawesi Barat pada kategori Fiqih Marhalah Ula. Saat aku tanya apa cita-citanya, anak yang murah senyum ini menjawab mau jadi kiyai.

Tim pendamping kontingen Sulbar Ismail Ibnu Hajar bercerita kalau Rifki adalah anak yang percaya diri dan berani. "Meski usianya masih sangat kecil, tapi dia (Rifki -red) adalah anak yang berani dan sering menang lomba di sana (Sulbar -red)", tuturnya.

Ismail juga berharap kontingen yang dibawanya dapat meraih juara di beberapa kategori untuk mengharumkan propinsinya.

Bareng Rifki dan Pak Ismail dari Kontingen Sulbar

Lalu, aku mencari lagi peserta yang lebih dewasa untuk mencari sudut pandang lain. Ketemulah aku dengan pemuda ganteng asal Aceh yang bernama Nasrullah. Pemuda 20 tahun kelahiran Aceh Barat ini merupakan santri Pondok Pesantren Mudi Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun NAD.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline