Terjerumus. Tersesat. Tapi di jalan yang benar. Lurus. Inilah yang aku alami, saat jadi makmum buta 'ide gila' Bagong dan Fatruk. Ide dua temanku ini suka 'menyesatkan', jika diamini tanpa sensor, tanpa dianalisa.
Aku diajak menghadiri acara Majelis Politik di Alun-Alun Nagari Ngalem-Ngalem. Namanya sulit dicerna telinga, masih terdengar aneh, asing, tidak biasa, kala itu. Umumnya, majelis itu identik dengan acara keagamaan, seperti salawat atau dzikir. Bukan Politik.
Tapi aku tak banyak pilihan, atau sengaja tidak diberi banyak pilihan oleh dua temanku itu, pilihan terbaiknya hanya makmum idenya. Mereka cukup meyakinkan, agar aku mengamini keinginannya. Sulit ditolak. Apalagi, kami sudah berteman lama, sejak kecil, biasa main layang-layang barsama. Konco kentel, istilah anak sekarang.
Lokasi acara itu sekitar 8 kilometer dari kampung kami. Sehingga, acara itu merampas malam minggu kami, kala itu. Kami berangkat dengan mobil tua milik tetangga, sewa. Lebih tepatnya pinjam. Gratis.
"Kamu harus tahu sudut lain nagari ini, biar wawasanmu luas, juga tidak mudah menyalahkan orang lain (yang tidak sependapat denganmu). Semua logistik sudah ada yang nanggung, alias gratis." Celoteh Bagong, kala itu.
Mereka sepertinya tahu kelemahanku, titik lemah yang biasa menjangkit rakyat kecil. Kata gratis itu sangat ampuh untuk meyakinkan, juga menggerakkan sesuatu, pokoknya kata kunci dalam mensukseskan segala acara. Sehingga, dengan terpaksa, aku mengamininya.
*****
Warna-warni---itulah yang menyambut mata kami, saat tiba di lapangan ombo, istilah di kampungku, sebutan lain untuk alun-alun. Warna apa saja ada di area tempat wisata murah-meriah itu. Ribuan orang berkumpul. Ada atribut penggemar band, juga atribut penggemar majelis, berkibar. Semua menyatu, berdampingan, saling menghargai. Rukun.
Namun, ada yang aneh, tidak biasa, ada beberapa atribut partai politik (parpol), terpajang di samping kanan-kiri panggung acara. Beberapa orang di panggung, mungkin tamu undangan, juga tampak mengenakan seragam parpol. Otakku makin pusing, itu acara keagamaan atau politik. Tepatnya majelis keagamaan atau politik. Padahal, promo spanduk dan banner yang dipampang di tepi jalan bertuliskan kegiatan keagamaan.
Aneh bin ajaib, tiba-tiba banyak politisi cinta pengajian, mendadak ngaji. Aku masih belum paham, jika di Nagari Ngalem-Ngalem lagi musim politik. Lagi musim kampanye, kala itu. Biasanya banyak aktor politik sedang akting, pura-pura peduli rakyat.