Tenang. Sunyi. Hening. Inilah yang seharusnya terjadi di masa tenang pada Pilkada serentak tahun 2024, yang dimulai pada 24 November lalu. Sekali lagi, ini normalnya, sesuai dengan namanya: masa tenang. Sangat tidak logis jika masa tenang malah berisik. Lalu apakah benar begitu?
Kata warga nagari Ngalem-Ngalem, hukum sosial itu tidak ada yang pasti, dinamis, bisa makmum perkembangan zaman. Sehingga, normalnya ada dua jawaban untuk pertanyaan itu. Bisa benar, juga bisa tidak. Namanya juga kondisi sosial tadi: dinamis.
Hanya saja, berdasarkan gosip lapangan, justru di masa tenang itu, terutama H-1 pencoblosan, malah 'berisik', saling mengawasi pergerakan lawan. Sekali lagi, ingat, ini didasarkan gosip, bukan data ilmiah. Sehingga, masih serba mungkin: benar, juga salah.
Bahkan, gosip yang berkembang, justru masa itu bisa jadi penentu, pergerakan tanpa bayangan bisa terjadi. Sehingga, tim sukses (timses) antar pasangan calon (paslon) biasanya saling mengintai. Waspada.
Mungkin, istilah pecinta bolanya: masa tenang itu seperti halnya injury time. Detik-detik sangat menentukan, lengah sedikit bisa dilibas lawan. Bahkan, sering kali lahir berbagai kejutan, yang bisa mengalahkan lawan, saat masa perpanjangan waktu itu. Sehingga, tak hayal, jika pendukung bola sangat tegang di masa itu, baik pendukung tim yang sudah unggul maupun yang tertinggal. Karena potensi menyamakan kedudukan, membalikkan keadaan, dan atau menambah gol sangat terbuka, pada momen itu.
Itu tadi cerita olah raga bola di nagari Ngalem-Ngalem, bukan Pilkada. Jujur, penulis kurang paham detail dunia perpolitikan. Bagi orang kampung, yang jauh dari pusat panggung politik, hanya tahu sebatas kapan hari pencoblosan. Terkadang, tahu berapa dan siapa paslon, saat tiba di TPS, tepatnya saat membuka kertas suara.
Maklum, mungkin, aspirasi warga kampung dinilai kurang begitu penting. Sehingga, aktor politik jarang mau turun gunung, untuk sosialiasi program dan visi-misi ke kampung. Atau, mungkinkah yang turun gunung diwakilkan timsesnya, saat masa tenang? Jujur, penulis tidak tahu jawabannya.
Fajar Menyerang
Saat Pemilu atau Pilkada, sering kali ada ungkapan: serangan fajar. Padahal, yang namanya Fajar jarang jadi striker, biasanya jadi kiper. Tepatnya bukan pemain penyerang, melainkan bertahan. Contohnya: Fajar Sadboy, saat mengikuti Futsal BRI Mini Soccer Clash antar artis, beberapa hari yang lalu. He he he
Hanya saja, kunci untuk menangkal semua kecurangan dalam Pemilu dan Pilkada adalah saling mengawasi dan sadar posisi. Yang penting lagi: penyelenggara, pengawas dan masyarakat amanah. Berperan sesuai porsinya masing-masing, mengawal jalannya demokrasi. Sehingga, oknum yang tidak bertanggungjawab akan malu sendiri, jika akan berbuat curang.