Lihat ke Halaman Asli

kang im

warga biasa yang hobi menulis

Hari Guru, Negara Mampu Gaji Honorer seperti Perusahaan?

Diperbarui: 25 November 2024   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: ilustrasi sendiri

Anda, para pembaca, terutama anak kelahiran tahun 80-90-an, ada yang pernah tidak berani pulang ke rumah, usai 'ditegur' guru di sekolah. Pasalnya, jika ketahuan orang tua, malah akan mendapatkan 'hadiah spesial' lagi, yang berlipat-lipat. Bukan mendapatkan pembelaan dari orang tua.

Bahkan, orang tua dahulu selalu menyampaikan terima kasih kepada guru, jika anaknya 'ditegur' di sekolah. Sehingga, murid, atau anak tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama, terutama saat di sekolah. Anak jadi tidak manja. Juga punya sopan-santun.

Hanya saja, sekarang, fenomena itu luntur, seolah ditelan zaman. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir ini, publik tanah air dihebohkan dengan berita seorang guru, honorer lagi, yang harus berususan dengan hukum. Dan, al-hamdulillah, informasi yang berkembang, hari ini, tepat pada Hari Guru Nasional (HGN), guru tersebut divonis bebas. Detailnya Anda bisa tanya ke mbah Google, banyak artikel atau berita yang membahasnya.  

Yang perlu digaris bawahi: kenapa orang tua dahulu dan sekarang berbeda sikap, dalam menerima 'teguran' guru di sekolah atas anaknya. Jujur, penulis tidak tahu jawabannya, belum melakukan riset ilmiah. Namun, jika boleh berpendapat, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi.

Pertama, wali murid dahulu sangat percaya bahwa guru tidak mungkin 'menegur', jika muridnya 'tidak berulah'. Sehingga, para orang tua percaya, mungkin anaknya melanggar aturan tertentu sehingga diberi 'teguran'. Sebab, sangat tidak mungkin guru memberi 'teguran', jika murid 'tidak berulah'.

Kedua, orang tua siswa dahulu sadar tentang perbedaan mengajar dan mendidik. Dua hal ini sangat berbeda. Meski sama-sama tugas berat bagi seorang guru. Gampangnya: mengajar itu lebih pada ranah kognitif, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir siswa. Sedangkan, mendidik lebih pada etika, sopan-santun, atau nilai-nilai. Punya unggah-ungguh, istilah di kampung.

Benang merahnya, guru tidak mungkin melakukan 'teguran keras', jika sang murid dalam batas normal. Punya sopan-santun. Ini hanya asumsi, belum ilmiah. Bagi mahasiswa keguruan, pasti sudah paham tentang mengajar dan mendidik.

Ketiga, zaman. Mungkin, zaman juga ikut andil dalam mengubah sudut pandang orang tua siswa. Apalagi, gempuran media sosial (medsos) juga sulit dibendung. Filter informasi seperti tidak ada. Sehingga, informasi yang ada ditelan mentah-mentah, tanpa dikroscek kebenarannya. Akibatnya, cepat dan gampang mengambil kesimpulan dan tindakan, tanpa pikir panjang. Tepatnya mudah mengambil kebijakan saat emosi.

Cukup tiga saja, sudah relatif panjang tulisannya, pembaca bisa lelah bacanya nanti. Jika Anda, para pembaca, punya kemungkinan lain, bisa di-share di kolom komentar.

Guru Hebat Indonesia Kuat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline