Lihat ke Halaman Asli

Perancis Sudah Menyadari Insiden Tersebut Akan Terjadi

Diperbarui: 16 November 2015   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Perancis Francois Hollande (Kompas.com)

Pemerintahan Hollande seharusnya bisa dengan tenang menjelaskan kepada rakyatnya bahwa serangan secara simultan oleh kelompok yang menyebabkan ratusan jiwa melayang adalah sebuah keniscayaan efek dari kebijakan yang diambi oleh negara.

Perancis seharusnya tahu persis reaksi yang mengakibatkan rasa takut dan mencekam rakyatnya lambat laun akan menghampiri negaranya. Agak aneh rasanya Hollande atau NATO seperti panik, kaget dan shock pasca serangan tersebut. Jika pernyataan perang sudah ditasbihkan seharusnya Hollande telah mempersiapkan negaranya untuk antisipasi serangan balik dari obyek yang mereka sebut sebagai lawan perang. Hollande seperti terkesiap aksi yang dia rancang kelak akan memercikkan hasil yang sama ke rakyat di negaranya sendiri.

Penulis tidak berkeinginan menyebutkan peristiwa tragis kemarin adalah wujud nyata dan lugas peperangan beraksentuasi teologis, antara nilai-nilai islam dengan peradaban sekular. Menyebutkannya sebagai peperangan yang lugas antara Islam dan sekular adalah pernyataan yang tendensius, mengandung interes diselubungi sebuah teologis lainnya.

Perancis sudah jelas memposisikannya sebagai subyek penyerang sebuah kedaulatan negara, sebut saja Mali. Perancis dengan kesadaran politis melakukan invasi ke negara tersebut dan mengabaikan jerit tangis anak-anak yang melihat secara langsung serbuan tentara terlatihnya membunuhi bapak-bapak, abang-abang atau saudara di depan mata atas nama hak asasi manusia dan peradaban baru.Mereka melintasi ribuan kilometer dan menjustifikasi posisi mereka sebagai pahlawan kebudayaan dunia baru.

Friday 13th, sebuah anekdot budaya eropa yang menggambarkan momen-momen yang membuat degub jantung dan adrenalin melaju dengan deras keseluruh tubuh dipergunakan secara simbolis oleh sekelompok individu yang menyematkan juga tameng-tameng teologis disela-sela aksi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara syariat. Hari yang dianggap sebagai suasana mencekam berhasil ditunggangi oleh sebuah kenyataan yang melebihi rasa takut yang meloncat saat menonton sebuah film horor besutan Holywood. Kelompok itu benar-benar memberikan suguhan yang memang diracik sedemikian rupa oleh Hollande dibeberapa tempat yang oleh publik di tanah airnya tidak terekspos sedemikian rupa.

Reaksi yang sepadan, kurang lebih seperti itu yang diisyaratkan oleh kelompok penyerang. Mereka memberikan nilai yang seimbang untuk situasi yang diterima oleh rakyat Mali. Rasa takut dan hilang harapan menusuk-nusuk urat nadi rakyat negara yang lebih sering dihinggapi kelaparan ketimbang sebuah konser yang sarat dengan budaya lepas bebas di tempat Hollande menekan tombol persetujuan untuk menyerang kedua negara tersebut.

Menyebut adanya nuasa islamis dalam serangan yang terstruktur dengan rapi di Perancis tersebut mengindikasikan telah habisnya energi positif dan kedalaman analisis yang seharusnya menjadi modal dasar untuk memerangi balik aksi-aksi yang kerap mengatasnamakan keadilan untuk semua. ISIS atau Perancis adalah contoh berikutnya mata rantai kehancuran nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Peristiwa September Kelabu yang menjadi representasi antara hegemoni Amerika Serikat dan ketangguhan Taliban menjadi pintu masuk pergeseran maut makna dari kedamaian dibangun dari balik moncong senjata.

Mohon maaf jika penulis mengatakan Hollande tidak siap menapis getah jika sedapnya nangka telah memenuhi ronggat mulutnya. Bukankah tidak adil rasanya jika rasa takut dari rakyat Mali diresapi dengan presisi oleh rakyat Perancis?

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline