Lihat ke Halaman Asli

Prajurit Bhayangkari: Dimana Engkau Kini?

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah kepala muncul dari permukaan air, slow motion yang dipergunakan untuk menggambarkan sesosok pria berambut cepak dengan ekspresi datar berhasil memancing hasrat hati dan menciptakan sebuah profil serdadu secara dramatis di benak kepala.

Demikian Kurt Russel sukses memerankan seorang prajurit dalam film science fiction 'ala holywood berjudul Soldier. Silahkan di cari di sini untuk resensi dari film tersebut.

****

Profil penjaga rasa nyaman dan memberikan pengayoman semestinya tidak jauk melesetlah dari sosok yang diperankan Kurt Russell tersebut. Berbadan tegap, six pack, berambut cepak dan nyaris tidak memiliki ekspresi humanis. Sibuk dengan menjaga vitalitas dan kebugaran tubuh ketimbang yang kita lihat perhari ini, perut buncit, rambut pun tidak rapih, badan tidak terlihat tegap dan disibukkan oleh proyek off duty dan menambal panci-panci dapur yang tidak berhasil diselesaikan oleh slip gaji yang diterima per akhir bulan.

Sebagai anak kolong dan lahir di lingkungan asrama membuat penulis nyaris bisa memahami kondisi yang tidak sempurna atau tidak masuk standard ini.

Mereka - prajurit bhayangkari- ini hanya praktis berolahraga jika pompa sanyo mati karena harus menimba air di sumur. Kalaupun ada waktu sedikit paling di isi dengan bermain badminton dan volley gembira.

Penulis lebih menyukai mensejajarkan kondisi terkini para prajurit bhayangkari tersebut dengan parodi murahan dan slapstick 'ala Police Academy. Dimana semua tokoh adalah banyolan dan ditertawakan dengan ironi dan menyedihkan.

Lihatlah boss prajurit bhayangkari yang tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa prajuritnya tumbang satu persatu oleh gerakan sistimatis yang dilakukan kelompok-kelompok terlatih. Beliau hanya bisa memamerkan kumis yang malahan tidak memberikan kesan wibawa kecuali berfungsi sebagai saringan teh tubruk merk cap Dandang.

Ditambah pula dengan mass media sekular yang lebih mempertontonkan efek dramaturgi dan melankolia dari sekian banyak tragedi penembakan yang merenggut nyawa. Tangisan isteri yang ditinggalkan malahan semakin memperlihatkan betapa para prajurit tersebut menjadi tak jauh berbeda dengan khalayak biasa. Kita dipaksa melupakan siapa mereka sebenarnya. Mereka yang seharusnya tahu persis bahwa cidera parah atau bahkan kematian menjemput adalah bagian dari resiko tugas.

Betapa mereka saat ini lebih suka menghabiskan waktunya mencari tambahan bumbu dapur ketimbang melatih insting pelindung masyarakat. Berlatih menembak, beladiri nan mumpuni, berjibaku dan memberikan rasa aman kepada warga. Kini mereka lebih disibukkan mencari isteri muda sebagai cara mencuci kekayaan haram serta menebangi kayu-kayu ilegal ketimbang memposisikan sebagai prajurit bhayangkara.

Hentikanlah memajang ratap tangis paska tragedi, simpanlah rapat-rapat alkisah seorang prajurit tumbang bersimbah darah dan meregang nyawa saat diluar jam tugas lalu memberikan kesan bahwa hal sebagai pahlawan dan gugur dalam tugas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline