Lihat ke Halaman Asli

Kebiadaban Densus 88 Sejajar Dengan Cara ISIS Menerapkan Syariat Islam

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan mbah-nya Kompasiana, Prayitno Ramelan seorang purnawirawan jenderal yang kenyang dengan dunia intelijen membuat penulis merasa perlu untuk menambahkan sedikit 'garam dapur' agar kita (baca: muslim) tidak pula terdorong ke dalam cara berpendapat subyektifitas seorang Prayitno Ramelan.


ISIS dalam perjalanannya mendirikan dan kemudian memperlihatkan eksistensinya semakin menunjukkan tabiat yang jauh dari cara-cara para sabiqunal awwalaun. Yakni para pendahulu dan penyeru Islam untuk bisa menjadi sebuah nilai-nilai berkehidupan. Begitu banyak kisah-kisah inspiratif yang bahkan bisa menarik seorang Yahudi 'tengik' untuk akhirnya memeluk dan bersimpuh di dalam keagungan Islam. Misalnya kisah Amr bin 'Ash seorang shahabat yang menjabat sebagai gubernur di Mesir yang berniat mendirikan sebuah masjid yang dengan segala upaya yang pada akhirnya terbangun namun dengan menggusur paksa sebuah rumah yang dihuni oleh yahudi tersebut. Silahkan baca lebih lanjut di sini.


Islam sesungguhnya seperti yang tertuang dalam kisah tersebut diatas dan bukan seperti yang diperlihatkan oleh ISIS yang lebih kuat nuansa ahlu syahwat ketimbang ahlussunnah. Para pengusung Daulah Islam ini seperti menafikan wajah Islam yang tasamuh, berkeadilan dan meletakkan derajat manusia diatas cara pandang kejahiliyyahan.


Meskipun embrio kebencian ini bermuasal dari kebengisan kaum kaffir harbi (baca: negara yang meletakkan syariat Islam bak najis, seperti melarang hijab/cadar dan menjalankan shalat seperti di Cina). Kebencian yang seharusnya membuat kita semakin mencintai ajaran Muhammad bin Abdullah dan bukan membuat muslim tidak jauh berbeda dengan para zindiq, ahlu kabair dan kafirin.


Islam bak olok-olokan peradaban ditangan mereka yang menyebarkan ajaran agung ini dengan cara berdarah-darah. Bahwa muslim harus berjihad qital untuk menegakkan keagungan tidak perlu disangkal misalnya menghancurkan Israil, membunuh para prajurit US Army didalam peperangan seperti di Iraq, Afghan, Somalia dan mungkin di Philipina atau bahkan di Indonesia.


Begitu juga dengan sebuah tesis menegakkan demokrasi ala Densus 88 yang semakin memperlihatkan taring asli dari pasukan kecil hasil hibah dan donasi negara-negara kuffar tersebut. Cara mereka memperlakukan tersangka (bukan terhukum) saat melakukan penangkapan. Kasus terakhir adalah saat seorang tersangka yang tengah shalat berjama'ah dengan keluarga langsung di dor tepat di kepala dan lehernya tanpa mempedulikan benar atau tidaknya sangkaan kepadanya. Cara biadap yang bahkan melebihi cara US Army di belahan jazirah arab disana. Para tentara ini di tuntut untuk tetap dalam code of conduct dan diberikan batasan yang teramat ketat saat melakukan penyergapan atau penangkapan.


Densus 88 dan ISIS bak sebuah belahan dari satu biji pinang yang bisa saja nanti akan jatuh dari pohonnya ditanah pertiwi. Kebencian yang sudah menunpuk dari sebagian muslim di dunia, termasuk Indonesia akan terakumulasi dengan cara-cara killing by extra judicial yang dilakukan oleh Densus 88. Reaksi Santoso dari pentolan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) yang terindikasi berafiliasi kepada ISIS menyiratkan akan adanya eskalasi yang meningkat drastis pasca penembakan biadab yang dilakukan oleh Densus 88.


Entah apa yang tengah bergulat saat ini, Islam dan anti syariatisasi Islam menunjukkan wajah-wajah permusuhan yang kelam. Justifikasi yang dipergunakan Densus 88 hanya akan menghantarkan Indonesia kepada sisi yang lebih kelam dari tragedi Ambon dan Poso dimana muslim kebanyakan menjadi tumbal dari cara picik yang ditimbulkan oleh cara menurutkan hawa nafsu belaka.


Pendekatan secara represif Densus 88 dan mengabaikan adanya beberapa tandzim di Indonesia yang lebih memilih untuk menggunakan pendekatan pengajian (tabligh) hanya akan memantikkan api ke hulu ledak pergolakan secara massif dan membentuk peperangan yang tidak lagi asimetrik tapi betul-betul face to face secara konvesional seperti yang terjadi di Suriah.


Bisa dibayangkan saja hal itu mulai menggeliat disaat Jokowi pun lebih memilih untuk mengatakan 'aku rapopo'.


Salam Anti Olok-Olok ke Islam!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline