Lihat ke Halaman Asli

PT BHMN dan Aksesibilitas Masyarakat pada Pelayanan Pendidikan Tinggi

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selepas putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, perdebatan para pemerhati dunia penididikan beralih pada status hukum 7 (tujuh) perguruan tinggi yang berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perdebatan terjadi seputar apakah status ketujuh PT BHMN ini legal setelah jatuhnya putusan tersebut.

Perdebatan ini sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Bagi pakar hukum, pandangan bahwa status BHMN perlu dicabut mungkin dapat mengakhiri kerancuan bentuk badan hukum tersebut yang tidak dikenal dalam hukum Indonesia (yang mengenal yayasan, PT, CV, dan lainnya). Bagi politisi yang mencoba membangun citra, pandangan tentang perlunya pencabutan status BHMN dapat dimanfaatkan sebagai instrumen merebut hati pemilih (voters). Begitupun aktivis LSM, tentunya melihat putusan MK sebagai palu besar untuk memukul mundur ide BHMN.

Tulisan ini tidak bermaksud membela keberadaan PT BHMN. Bukan pula karena penulis berasal dari salah satu PT BHMN. Tulisan ini murni perspektif penulis dari apa yang penulis ketahui dan sangat bersifat dapat diperdebatkan (debatable).

Keberadaan PT BHMN berawal dari kegelisahan sejumlah perguruan tinggi negeri atas minimnya otonomi yang dimiliki untuk menumbuhkembangkan institusinya agar dapat bersaing di tingkat internasional. Otonomi tersebut dibutuhkan berangkat dari pengalaman bahwa sistem keuangan yang ada di PTN tidak mengakomodasi mereka untuk memanfaatkan uang yang mereka dapatkan untuk dipergunakan langsung apabila mereka membutuhkan investasi atau pengembangan kapasitas. Hal ini disebabkan uang yang mereka terima harus disetorkan kepada pemerintah. Sementara itu, untuk penggunaannya mereka harus mengajukan ke Depdiknas lalu ke Depkeu. Jika disetujui, barulah uang tersebut cair. Banyak dari kita tentu paham bahwa proses birokrasi ini tidak akan memakan waktu singkat. Akhirnya, kecuali memiliki perencanaan yang super matang, sulit bagi PTN untuk dapat menghidupi kampusnya secara dinamis. Bayangkan jika untuk membetulkan atap yang bocor saja PTN harus mengajukan dulu anggarannya kepada pemerintah. Apakah dengan demikian mereka dapat bersaing di tingkat internasional?

BHMN, terlepas dari status badan hukumnya yang kontroversial, merupakan terobosan yang dibuat pemerintah dalam mengakomodasi kebutuhan akan otonomi ini. Dengan status BHMN, perguruan tinggi dapat memanfaatkan langsung uang yang didapatnya untuk kebutuhan pengembangan kapasitas. Tentunya dengan ketentuan bahwa pemanfaatan tersebut adalah untuk kepentingan pengembangan kapasitas semata dan bukan untuk tujuan lain (memperkaya pengelola, misalnya). Dalam pada itu, BHMN juga dimintakan akuntabilitasnya setiap tahun atas dana yang mereka kelola. Bahkan jika terdapat kelebihan dana yang tidak dimanfaatkan (idle), dapat dikembalikan kepada pemerintah sebagai Penerimaan negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan demikian, otonomi yang diberikan bukanlah otonomi yang tidak bertanggung jawab.

Bentuk organisasi seperti ini lazim dikenal sebagai not-for-profit organization. Bentuk ini sedikit berbeda dari rekannya, yaitu non-profit organization. Payahnya, bagi kita orang Indonesia, keduanya dipadankan sebagai organisasi nirlaba. Padahal, praktiknya sangat berbeda. non-profit organization adalah organisasi yang memang tidak mengumpulkan dana sama sekali. Organisasi ini telah memiliki statuta yang menyatakan bahwa dana yang mereka peroleh sepenuhnya adalah untuk menjalankan misi mereka. Sementara itu, not-for-profit organization meskipun tidak bertujuan mencari laba tetapi dapat mengelola keuangannya untuk mengembangkan organisasi. Organisasi ini boleh menerima dana lebih, tetapi kelebihan itu semata dimanfaatkan untuk pengembangan kapasitasnya. Model inilah yang diadopsi oleh PT BHMN.

Pada praktiknya, PT BHMN sebagaimana dicuplik dari sejumlah pendapat pakar di media massa, memungut biaya pendidikan bagi peserta didiknya jauh lebih besar daripada saat mereka berstatus PTN. Akhirnya, tidak jarang orang beranggapan bahwa PT BHMN merupakan bentuk privatisasi pendidikan yang menjauhkan masyarakat dari aksesibilitas pada pelayanan pendidikan tinggi (soal privatisasi sendiri nggak akan saya bahas di sini. bisa panjang nanti ceritanya). Jika demikian adanya, wajarlah orang-orang berang terhadap PT BHMN.

Akan tetapi, saya ingin melihat masalah ini dari sisi yang berbeda. Keberadaan PT BHMN sedikit-banyak mampu memberikan kebanggaan kepada bangsa Indonesia. Cobalah perhatikan peringkat PT BHMN di pemeringkatan pendidikan tinggi di dunia. Pada umumnya mereka bergerak naik setiap tahunnya. Prestasi mahasiswanya juga semakin mendunia, karena PT mampu membantu mahasiswa dalam mengikuti kompetisi di tingkat regional maupun global. Pengajar PT BHMN pada umumnya juga telah menerima penghargaan yang lebih layak dibandingkan sejawatnya di PTN, yang dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya dalam melaksanakan tridharma pendidikan tinggi.

Lalu bagaimana dengan aksesibilitas? Saya jabarkan satu-persatu kebaikan PT BHMN pun tidak akan berarti jika pertanyaan aksesibilitas yang menjadi kekhawatiran banyak orang tidak terjawab.

Dalam pelayanan publik dan kaitannya dengan pengguna pelayanan, seperti dikatakan Potter, aksesibilitas (access) menjadi salah satu masalah utama selain kesetaraan informasi (differential information), pilihan (choice), mekanisme pengaduan (redress), dan kesesuaian dengan kebutuhan (representative). Selain pendapat Potter tersebut, masalah pelayanan publik juga berkutat pada kualitas pelayanan publik (quality). Akses dan kualitas inilah yang seringkali dikonfrontasikan oleh pelaku pelayanan publik sebagai dua hal yang saling mengorbankan (trade-off). Jika ingin mengedepankan akses, maka kualitas pelayanan dikurangi, dan sebaliknya.

Pandangan mengkonfrontasikan kualitas dan akses ini yang menjadi kesalahan dalam penerapan paradigma new public management (NPM) yang kemudian menjadi senjata bagi para pengkritiknya. NPM yang mengedepankan kepuasan pengguna tentu lebih menekankan pada kualitas, yang seringkali berakibat pada tingginya harga (charge, tariff, fare, price) yang harus dibayar oleh pengguna sehingga menurunkan aksesibilitas mereka pada pelayanan tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline