Lihat ke Halaman Asli

Ayahku Sekaligus Sebagai Guruku

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan sederhana tetapi harus saya jawab dengan jujur, yaitu siapa di antara para guru yang saya anggap paling mengesankan dan kemudian masih selalu saya ingat. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, biasanya secara spontan, saya jawab bahwa guru yang paling mengesankan itu adalah ayah saya sendiri. Jawaban itu bukan mengada-ada, tetapi memang demikian itulah yang sebenarnya saya rasakan.

Memang dalam sejarah hidup saya, banyak orang yang telah mendidik dan membekali ilmu pengetahuan kepada saya, sejak dari sekolah dasar hingga strata tertinggi di universitas. Sudah barang tentu, jasa mereka itu sangat besar dalam hidup saya dan tidak mungkin saya lupakan. Saya selalu berdoa, semoga budi baik dan jasa yang sedemikian mulia itu diterima oleh Allah swt., dan mereka dimuliakan serta ditinggikan derajadnya.

Saya menyebut ayah sendiri sebagai guru, bahwa maksud saya bukan guru di kelas atau di sekolah, melainkan adalah guru dalam kehidupan sehari-hari. Pada setiap saat dan kesempatan, ayah memberikan pengetahuan, wawasan hidup, pengalaman, dan perilaku yang seharusnya saya jalankan. Banyak sekali pelajaran itu yang saya rasakan amat mengesankan, sehingga amat sulit saya lupakan. Di antara pelajaran itu berupa pesan misalnya adalah terkait dengan masjid.

Ayah berpesan bahwa, jika menjadi orang kaya, agar saya membuat masjid, dan syukur bila masjid yang dimaksudkan itu berukuran besar dan tampak indah. Tetapi jika tidak mampu membuat masjid yang besar, maka supaya membuat masjid berukuran kecil, yaitu mushalla atau langgar. Namun, jika membuat mushalla saja tidak bisa, agar saya mau memberikan bantuan berupa uang kepada siapa saja yang sedang membangun masjid. Tetapi jika juga tidak punya uang, maka supaya membantu berupa tenaga. Terakhir pesannya lagi, umpama saya memang dalam keadaan lemah, sehingga tidak bisa membangun masjid, mushalla, menyumbang berupa uang atau sekedar tenaga, maka ayah juga mengaku tidak merasa sedih, asalkan saya masih mau menjadi isinya masjid.

Pesan sederhana tersebut tidak pernah saya lupakan. Menurut pandangan ayah saya, tempat ibadah sedemikian penting, dan harus selalu diperhatikan. Bahkan, sedemikian penting masjid dan madrasah itu, sehingga umpama secara ekonomi, saya mampu, ayah tidak mau melihat madrasah atau masjid yang saya bangun lebih sederhana dibanding bangunan rumah saya. Ayah menjelaskan bahwa rumah hanyalah untuk kepentingan pribadi dan keluarga, sementara itu madrasah dan masjid adalah untuk orang banyak. Fasilitas untuk orang banyak seharusnya dibuat lebih baik dibanding untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarga.

Hal lainnya lagi yang tidak pernah saya lupakan adalah tentang cara memberikan pelajaran. Ayah selalu memberi contoh dan kemudian diikuti dengan penjelasan. Pelajaran itu tidak terbatas ketika sedang di rumah, tetapi di berbagai kesempatan. Jika ayah bepergian dan tidak terlalu jauh, ��-memberi pengajian misalnya, oleh karena pada waktu itu belum ada sepeda motor dan apalagi mobil, maka biasanya dengan berjalan kaki dan mengajak saya untuk menemani. Berbeda jika jarak yang ditempuh itu cukup jauh dan pada siang hari, ayah pergi sendirian dengan menunggang kuda.

Pada saat berjalan kaki dan mengajak saya, maka di tengah perjalanan ada saja pelajaran penting yang diberikan. MIsalnya, jika dalam perjalanan itu mengetahui air menggenang di selokan karena tersumbat, ayah sengaja berhenti dan mengalirkan air dimaksud. Apa yang dilakukan itu tanpa dikomentari. Dalam kesempatan berikutnya, tatkala melihat air yang menggenang lagi, ayah masih melakukan hal yang sama. Akan tetapi, pada saat berikutnya, tatakala ketemu lagi air menggenang, ayah sudah pura-pura tidak melihat. Dan, jika saya tidak peduli, yakni membiarkan air yang menggenang itu, maka ayah segera memberikan penilaian, bahwa saya disebut belum lulus. Dikatakan bahwa, sudah dua kali diberi contoh, tetapi saya belum paham dan belum bisa meniru. Mendapat penilaian itu, saya segera melakukan sebagaimana yang dikerjakan oleh ayah dimaksud.

Berikutnya,, ayah menjelaskan bahwa air yang menggenang terlalu lama, akan berbau dan juga dijadikan sarang nyamuk. Akibat buruk air yang menggenang terlalu lama juga digunakan untuk menjelaskan fenomena lain yang lebih luas, yaitu misalnya terkait harta kekayaan. Bahwa, tidak saja air, bahkan harta kekayaan pun jika disimpan dan tidak dimanfaatkan, apalagi tidak dikeluarkan zakatnya, infaq atau shadaqoh, maka juga akan melahirkan penyakit. Dijelaskan bahwa penyakit yang dimaksudkan itu bisa saja berupa iri, dengki, hasut, dan atau juga kebencian oleh karena dianggap bakhil dan sejenisnya.

Pengalaman pada waktu kecil tersebut menjadikan saya merasakan bahwa, pelajaran dari orang tua yang diberikan dengan cara sederhana, yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari itu, ternyata terasa sangat mendalam, dan menjadi sesuatu yang tidak mudah terlupakan. Saya mendapatkan pendidikan seperti itu dalam waktu lama. Maka, itulah sebabnya, saya menyebut ayahku juga sekaligus guruku. Wallahu a�lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline