Lihat ke Halaman Asli

Berbicara NU adalah Berbicara Perjuangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya agak mengerti tentang NU adalah dari ayah dan ibu saya sendiri. Sejak kecil, sewaktu masih hidup di pedesaan bersama kedua orang tua, saya selalu diberi contoh menjadi NU yang seharusnya. Organisasi yang dipimpin oleh para ulama ini, menurut ayah saya, adalah bertujuan untuk memperjuangkan agar Islam menjadi pedoman hidup di tengah-tengah masyarakat. Ayah selalu menggambarkan bahwa Islam itu indah, oleh karena itu orang harus diajak untuk menjalani hidup yang indah itu.

Ayah saya selalu berbicara tentang tabligh, yaitu mengajak orang agar sehari-hari menjalankan ajaran Islam. Bertabligh itu, masih kata ayah saya, tidak gampang. Sekalipun Islam itu disebut sebagai ajaran, yang jika dijalankan, menyejukkan dan indah, akan tetapi tidak semua orang segara menyambutnya dengan baik. Tabligh itu harus disampaikan dengan hati-hati, sabar, dan juga arif. Ayah menjelaskan, bahwa bertabligh itu bagaikan menyuapi anak kecil.

Siapapun, tidak terkecuali anak kecil membutuhkan makanan, tetapi belum tentu mereka sedemikian mudah disuapi. Untuk menyuapi anak kecil tidak perlu ia diajak duduk di ruang makan, tetapi akan lebih tepat justru dibawa ke tempat yang menyenangkan. Bahkan, jika perlu, anak kecil dimaksud harus digendong. Mereka dihibur, diajak menyanyi, ditunjuki binatang atau apa saja agar senang. Di tengah suasana gembira itu, nasinya disuapkan. Pekerjaan itu harus telaten, kadang hingga berjam-jam, baru nasinya habis.

Bertabligh atau berdakwah, kata ayah saya, harus seperti menyuapi anak kecil itu. Tidak boleh dipaksakan. Mengajak seseorang pada Islam harus dilakukan dengan bijak. Para wali songo dulu dalam berdakwah hingga berhasil juga lewat berbagai cara, di antaranya lewat seni. Cerita pewayangan, syi�ir, berbagai jenis tembang, dan lain-lain digunakan untuk berdakwah. Pada akhir-akhir ini, di beberapa kota, para kyai berdakwah melalui kegiatan dzikir bersama. Lewat cara itu, maka nilai-nilai Islam masuk pada alam kesadaran sehingga, ��-bisa saja, tidak dirasakan.

Para kyai pada umumnya dalam bertabligh menempuh cara sebagaimana yang dilakukan oleh seseorang yang sedang menyuapi bayi. Oleh karena itu, dakwah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu tidak mendapatkan resistensi. Para ulama atas pendekatannya yang sabar, telaten, ikhlas, dan arif, mereka justru menjadi dihormati. Para kyai dianggap benar-benar sebagai orang yang diperlukan. Mereka hadir untuk mengajak kepada kebaikan dan keselamatan. Dalam berdakwah, para kyai tidak memasang target tentang keberhasilannya. Tabligh itu secara terus menerus dijalankan, sedangkan keberhasilannya, mereka bertawakkal, menyerahkan kepada Dzat Pemberi Hidayah.

Oleh karena peran kyai adalah memberikan bimbingan dan juga ketauladanan, maka di dalam organisasi NU tidak dikenal adanya persaingan dan apalagi perebutan untuk menjadi pengurus atau pemimpinnya. Atas kenyataan dan pandangan seperti itu, seseorang yang telah menjadi pengurus NU biasanya tidak diganti-ganti sebelum yang bersangkutan wafat atau mengundurkan diri dari jabatannya dan atau meminta diganti. Tugas kyai dalam bertabligh memang tidak harus dijalankan setelah yang bersangkutan menjadi pengurus organisasi. Siapa saja boleh, asalkan mampu menjalankannya.

Selain itu, di kalangan para ulama atau kyai terdapat adab yang selalu dipegangi tatkala akan menjadi pemimpin. Kepemimpinan, termasuk di organisasi NU adalah dianggap sebagai amanah yang tidak ringan. Pemimpin adalah orang yang dijadikan panutan, didengarkan nasehatnya, dijadikan contoh, dan dituakan dengan berbagai beban sosialnya. Selain itu, dalam konsep NU, amanah tidak boleh dicari dan apalagi harus diperebutkan. Bagi kebanyakan kyai, amanah itu diberikan saja, tidak selalu segera diterimanya, dan bahkan kadang sebaliknya, harus dipaksa untuk menerima. Kyai tidak segera menerima amanah kepemimpinan, jika masih ada yang lain yang diangap lebih sepuh dan lebih alim.

NU adalah organisasi para kyai yang sebenarnya merupakan tempat berjuang untuk menyeru kepada orang lain agar berperilaku sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, dengan pedoman al Qur�an dan hadits. Orang yang dijadikan sebagai sasaran tabligh hingga menjadi muslim atau meningkat kualitas keberagamaannya, bukan melalui tekanan atau paksaan, tetapi atas kesadarannya sendiri. Mereka diajak dengan cara yang santun, berhati-hati, dan juga arif. Tugas mengajak, mendidik atau menyeru kepada kebaikan itu juga atas dasar keikhlasan, merupakan panggilan hati nurani, dan memenuhi ajaran agamanya.

Oleh karena NU adalah kumpulan para kyai yang sehari-hari beraktifitas menyeru pada kebaikan, maka berbicara NU adalah berbicara perjuangan. Selanjutnya, sebagaimana lazimnya orang berjuang juga selalu diikuti dengan pengorbanan. Atas pemahaan seperti itu, adalah wajar, menjelang muktamar yang akan dilaksanakan pada tanggal 1-5 Agustus 2015 yang akan datang, seumpama terjadi pembicaraan tentang siapa yang seharusnya memimpin NU ke depan, bukan dalam konteks memilih antara yang baik dan tidak baik, atau antara yang disukai atau yang tidak, melainkan memilih di antara calon pemimpin yang secara total dan maksimal memiliki kesediaan berjuang dan sekaligus berkorban itu. Sebab, berbicara NU sebenarnya adalah berbicara tentang perjuangan dan pengorbanan. Wallahu a�lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline