Banyak ahli pendidikan mengatakan bahwa agar pendidikan menjadi semakin maju maka kualitas kuriukulumnya harus diperbaiki, dan demikian pula aspek guru, sarana dan prasarana, bahan pelajaran dan tau buku teks, sistem penilaian, lingkungan belajar, dan lain-lain di seputar itu. Namun ada kalangan yang berpendapat lain, bahwa semua yang disebutkan itu adalah penting, tetapi masih ada yang lebih penting lagi, ialah niat orang yang belajar itu sendiri.
Pendapat yang disebutkan terakhir biasanya datang dari orang yang tidak dikenal sebagai ahli pendidikan, tetapi sebenarnya seumur-umur mereka mengurus pendidikan. Orang yang berpendapat tentang betapa pentingnya niat dimaksud adalah para kyai, pengasuh pondok pesantren. Atas pandangan mereka itu, maka biasanya di pesantren terlebih dahulu para santri diajak belajar kitab kecil, yaitu ta�lim mutaa�lim .
Dalam kitab tersebut di antaranya, diajarkan tentang betapa pentingnya niat bagi seorang yang akan mencari ilmu. Tanpa niat yang benar dan sungguh-sungguh, selengkap apapun buku teks, sarana dan prasarana, kurikulum, dan bahkan ustadz yang hebat sekalipun, maka kegiatan itu tidak akan membawa hasil maksimal. Niat dianggap menjadi kekuatan atau pintu keberhasilan dalam setiap usaha, apalagi dalam menjacari ilmu.
Di lembaga pendidikan modern separati sekarang ini, niat disebut dengan istilah motivasi, dorongan, atau semangat. Akan tetapi niat yang diajarkan di pesantren pada umumnya, bukan sebatas motivasi, atau dorongan, tetapi lebih dari itu, dan bahkan juga harus benar. Mencari ilmu bukan sebatas agar kelak lulus dan memperoleh ijazah sebagai syarat mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan banyak uang, gelar dan sejenisnya. Niat seperti itu, dianggap tidak cukup, dan tidak akan membawa hasil maksimal. Belajar harus didasari oleh panggilan untuk memenuhi perintah Tuhan dan kecintaan terhadap ilmu.
Tidak gampang meyakinkan kepada semua orang bahwa pandangan kyai, pengasuh pesantren tersebut adalah benar. Namun demikian, tidak sedikit pesantren terbukti berhasil mengantarkan santrinya menjadi ulama besar, memimpin umat, dan juga mendirikan pesantren di mana-mana. Sekarang ini tidak sulit mencari pesantren yang memiliki keunggulan, misalnya dalam keberhasilannya mengantarkan para santrinya berbahasa asing. Para santri mampu berbahasa Arab adalah hal biasa. Tetapi tidak sedikit pesantren yang sehari-hari para santrinya berbahasa Inggris, selain berbahasa Arab. Pondok pesantren Gontor Ponorogo, beberapa pesantren di Medan, Pesantren Darul Hijrah di Banjarmasin, dan masih banyak lagi, sehari-hari para santrinya berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Arab dan Inggris.
Pesantren yang berhasil mengantarkan para santrinya mampu berbahasa asing, yaitu Arab dan Inggris, bukan oleh karena tersedianya fasilitas yang istimewa, kurikulum yang hebat, gaji guru yang mencukupi, ketersediaan laboratorium bahasa, melainkan oleh bekal niat yang kuat, ikhlas, dan bersungguh-sungguh, baik dari para pengajarnya maupun para santrinya. Sebaliknya, banyak lembaga pendidikan yang memiliki laboratorium bahasa, guru yang digaji tinggi, tempat belajar ber AC, termasuk LCD, dan lain-lain, tetapi anehnya di sekolah itu sekedar percakapan berbahasa Inggris saja tidak terdengar. Semua sarana dan prasarana pendidikan termasuk kualitas kurikulum dan pengajarnya tercukupi, tetapi oleh karena kegiatannya itu tidak didasari oleh niat yang benar, maka hasilnya tidak seberapa.
Berikut adalah kisah tentang seorang calon santri, pada zaman dahulu, yang berkeinginan belajar di pesantren. Berpegang pada keyakinan tentang betapa pentingnya niat itu, seorang kyai ketika kedatangan calon santri tidak segera disambut dan disuruh ikut belajar. Oleh seorang kyai, calon santri dimaksud harus dilihat atau ditest terlebih dadulu tentang kesungguhan belajar di pesantrennya. Mengetahui bahwa kedatangan calon santri, kyai tidak segera memanggilnya, tetapi membiarkannya terlebih dahulu hingga beberapa hari, namun diijinkan ikut tinggal di pesantrennya itu.
Baru beberapa waktu kemudian, calon santri dimaksud dipanggil untuk menghadap kyai. Betapa gembiranya calon santri itu, menduga kyai sudah mengijinkannya untuk ikut mengaji. Namun ternyata di luar perhitungannya itu, calon santri tersebut dipanggil bukan disuruh memulai ikut mengaji, melainkan ditugasi untuk membersihkan kandang kuda milik kyai, yang sudah beberapa lama tidak dibersihkan. Oleh karena niatnya sedemikian kokoh agar diijinkan belajar di pesantren itu, maka apapun perintah kyai ditunaikan hingga beberapa hari, dan akhirnya tugas itu berhasil diselesaikan.
Selanjutnya, dengan hati bangga telah berhasil menunaikan tugas yang diberikan oleh kyai yang dikagumi atas kealimannya, ia melapor bahwa tugasnya telah diselesaikan. Santri ini mengira bahwa atas prestasinya itu, ia segera diijinkan untuk mengaji sebagaimana santri yang telah lama belajar di pesantren itu. Ternyata dugaannya itu meleset lagi. Ia bukan disuruh untuk memulai belajar, melainkan diberi tugas baru, yaitu mencakuli lahan pertanian yang juga milik kyai agar bisa ditanami di musim hujan mendatang. Pada saat itu, menurut kisahnya, adalah sedang musim kemarau. Maka bisa dibayangkan, betapa beratnya tugas itu harus dilaksanakan, yaitu mencangkul tanah keras dan juga sedemikian luas. Namun oleh karena keinginannya untuk belajar, maka tugas berat itu diselesaikan dengan ikhlas dan sabar, sekalipun juga memerlukan waktu lama.
Setelah tugas kedua selesai, maka calon santri melapor kepada kyai, dengan harapan agar diijinkan untuk belajar. Namun ternyata sama dengan pada saat menyampaikan laporan atas tugasnya yang pertama, setelah selesai mencangkul kebun yang cukup luas, ternyata masih ada tugas baru, yaitu agar supaya menebang bambu berduri yang lebat atau disebut barongan ori yang terletak di pinggir sungai, di kebun milik kyai yang tidak jauh dari rumahnya. Banongan ori dimaksud, menurut kyai, harus ditebang agar tidak digunakan sebagai sarang ular. Tugas itupun oleh calon santri, sekalipun berat, ditunaikan hingga selesai.
Namun akhirnya, setelah selesai mengerjakan tiga jenis tugas yang amat berat itu, calon santri tersebut oleh kyai diijinkan untuk memulai belajar di pesantren itu. Sudah barang tentu tidak semua calon santri diperlakukan seberat seperti itu. Akan tetapi setiap calon santri, sebelum diijinkan untuk memulai belajar selalu diuji niatnya, apakah benar-benar kokoh untuk belajar di pesantrennya.