Lihat ke Halaman Asli

I Made Suyasa

Karyawan Swasta

Hilangnya Budaya Malu

Diperbarui: 17 Maret 2022   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat masih kuliah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saya pernah tidak lulus salah satu mata kuliah yang diikuti. Jadi harus mengulang dan tentu saja diwajibkan untuk membayar biaya kuliah lagi. Saya tidak lulus mata kuliah tersebut bukan karena sering bolos. Perkuliahan saya ikuti dengan baik. Hanya saja saya kesulitan memahami materinya, sehingga wajar tidak lulus.

"Tidak masalah ikut kuliah ulang, nanti Bapak siapkan biayanya. Lebih baik ikut kuliah ulang agar materi kuliahnya bisa dipahami dengan baik ketimbang mendapatkan nilai cuma-cuma dari dosennya, apalagi dengan cara menyuap. Malulah jika tidak jujur," demikian kata ayah saya waktu itu. Setelah mengikuti kuliah ulang, syukurlah saya bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskan tentu saja dengan proses belajar yang sungguh-sungguh.

Saya bangga dengan orangtua saya, meskipun hanya seorang petani di desa, selalu memegang teguh nilai-nilai kejujuran. Biaya kuliah yang mahal, bukan dijadikan alasan untuk mengejar beasiswa, tapi bekerja dengan keras agar bisa membayar biaya kuliah dan biaya hidup selama tinggal di Kota Gudeg itu. Syukurlah, saya bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dan semua prosesnya saya ikuti dengan baik sehingga tidak bikin malu.

Seperti dikutip dari wikipedia.org, malu adalah salah satu bentuk emosi manusia. Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukannya sebelumnya dan kemudian ingin ditutupinya. Penyandang rasa malu secara alami ingin menyembunyikan diri dari orang lain karena perasaan tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain.

Sebagai sebuah emosi dari manusia, tentu saja rasa malu menjadi sebuah benteng yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perilaku dan tindakan seseorang. Tindakan dan perilaku dari seorang individu dapat mendatangkan konsekuensi pada diri manusia, salah satunya yaitu konsekuensi secara sosial atas tindakan dan perilaku individu. Konsekuensi tersebut berupa sanksi sosial yang akan diterima individu atas tindakan dan perilakunya. Sanksi sosial tersebut bisa berupa pujian, kritik bahkan celaan.

Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan teknologi, tanpa kita sadari juga melunturkan budaya-budaya yang ada di masyarakat. Salah satunya adalah budaya malu. Fenomena hilangnya budaya malu tentu membuat kita prihatin. Dalam persoalan ini, pendidikan sering disalahkan atas gagalnya tumbuhnya karakter-karakter yang baik pada diri seseorang.

Jika diperhatikan, salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu. Kasus oknum guru besar di salah satu perguruan tinggi yang tertangkap nyabu dengan mahasiswinya adalah salah satu potret buram di dunia pendidikan. 

Kasus lain, rekayasa kelulusan mahasiwa tanpa melalui proses yang wajar dengan cara mengakal-akali sistem di PDDikti dan melabrak aturan justru dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi dengan jabatan yang menentukan. 

Kasus oknum dosen yang jual beli skripsi, sudah bukan rahasia lagi. Lebih parah lagi, ada oknum yang pendidikannya tinggi kelakuannya masih seperti anak-anak, yakni suka menebar fitnah, melabrak aturan, menjatuhkan orang lain dan tidak memiliki integritas moral yang baik. Jika budaya malu itu ada, saya yakin kasus-kasus seperti itu tidak akan ada lagi.

Lebih malu lagi jika berkarier di dunia pendidikan, namun malah menghalalkan segala cara untuk melakukan praktik kecurangan. Bagaimana mau mencetak anak bangsa yang berbudaya dan berkarakter unggul jika dalam prosesnya saja banyak diwarnai kecurangan dan akalan-akalan?

Hilangnya budaya malu mengingatkan kita betapa pentingnya pendidikan karakter itu. Lunturnya budaya malu juga merupakan tantangan besar bagi dunia pendidikan kita, bagaimana bisa menumbuhkan kembali budaya malu itu dan berbagai penyimpangan budaya dan sosial yang terjadi saat ini. Seharusnya, pendidikan karakter tidak hanya di lembaga pendidikan, namun harus diterapkan mulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline