"Tidak ada manusia dilahirkan untuk membenci manusia yang lain ..
Untuk bisa membenci, seorang manusia harus melewati proses belajar.
Jika mereka dapat belajar untuk membenci, mereka pasti dapat diajarkan untuk mencintai." -- Nelson Mandela (1918 -- 2013), politisi & pejuang hak asasi Afrika Selatan.
Demikian sepenggal kata bijaksana seorang Mandela yang hampir separuh hidupnya diabdikan untuk perjuangan menyetarakan derajat manusia ditengah politik apartheid yang mendewakan warna kulit di negara tanah kelahirannya, Afrika Selatan.
Sebelumnya, saya sudah membaca kutipan yang bermakna sama namun dalam kalimat yang berbeda, diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. dalam pidatonya yang terkenal 54 tahun lalu, "I Have a Dream", di Lincoln Memorial, Amerika Serikat: ".. saya punya impian, bahwa keempat anak saya, ..suatu hari nanti hidup di sebuah negara di mana mereka tidak akan dinilai berdasarkan warna kulit mereka namun berdasarkan isi karakter mereka".
Ada sebuah keadilan yang hakiki dalam pesan itu, karena langsung menyentuh inti permasalahan yang selalu mengakibatkan konflik di antara manusia. Kulit, seperti "kulit-kulit" lainnya, tidak akan menyakiti seseorang namun perkataan dan perbuatan yang merendahkan dan kasar yang dilahirkan oleh pikiran salah dan bermanifestasi dalam karakter akan berdampak sebaliknya.
Ada indikasi ketidakbahagiaan dalam diri orang kulit putih di Afrika Selatan kala itu. Walaupun mereka menganggap diri mereka berada dalam status sosial yang tinggi, terutama dari segi pendidikan dan kemakmuran, namun sebenarnya jiwa mereka kosong dan menderita, tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki.
Orang yang tidak puas atau tidak pernah bersyukur tentu adalah orang yang menderita karena segala yang dimiliki atau diberi oleh Tuhan masih dianggap kurang. Ketidakbahagiaan tersebut berasal dari ketamakan dan begitu cepat akan melahirkan penderitaan di sekelilingnya. Sebaliknya pikiran yang dihinggapi penuh kebahagiaan akan selalu memberi kebahagiaan ke sekelilingnya.
Apakah penderitaan orang kulit hitam merupakan imbas pikiran tidak bahagia orang kulit putih? Sudah pasti, namun masalahnya tidak sesederhana itu. Orang kulit hitam juga tidak berusaha untuk memperjuangkan hak asasi mereka, yaitu hak untuk hidup dan sejajar dengan manusia lainnya di dunia hingga datangnya Mandela, seorang sosok yang terdidik dan dikaruniai filsafat hidup yang mulia.
Orang yang bahagia tidak akan pernah memiliki pikiran untuk merendahkan orang lain. Orang yang bahagia selalu puas dengan hidupnya dan banyak menghargai segala hal yang ia jumpai dalam hidupnya. Orang yang bahagia apabila melihat keadaan sekelilingnya kacau, tidak akan terpengaruh dan sebaliknya akan menjadikan sekelilingnya dipenuhi kebahagiaan dan keharmonisan.
Orang yang bahagia tidak pernah mengeluh pemerintahan negaranya buruk namun berusaha untuk mengubah negaranya secara perlahan dari pikiran bahagianya. Itulah sosok Mandela, seperti cahaya lilin yang menerangi sekitarnya, seseorang yang mengerti bahwa penindasan hanya bisa ditiadakan dengan cinta kasih bukan dengan kekerasan atau dengan senjata. Keyakinan bahwa cinta kasih akan selalu menang terus dijunjung, itulah prinsip sejati, karena dalam cinta kasih dan rasa syukur selalu akan ada kebahagiaan.
Memperjuangkan cinta kasih, keharmonisan, kedamaian, dan hal mulia lainnya dengan cara membenci, menjelekkan, merendahkan, merusak, meneror, dan menyakiti manusia lain merupakan sesuatu hal yang menurut saya paradoks dan tidak melahirkan simpati.
Kedamaian hanya datang dari pikiran yang damai. Keharmonisan hanya datang dari pikiran yang harmonis. Begitu juga cinta kasih hanya datang dari pikiran yang penuh cinta. Tidak ada orang mencintai dengan cara membenci. Tidak ada orang yang menyuarakan kedamaian dengan melakukan teror atau perusakan. Benci hanya datang dari pikiran yang penuh dengan rasa iri dan kurangnya rasa menghargai manusia lain.