Lihat ke Halaman Asli

Ilyas Syatori

Pemuda Desa

Sedikit Catatan dan Refeleksi dari Gorontalo

Diperbarui: 12 Desember 2021   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Binte Biluhuta atau yang sering disebut jagung siram, makanan khas Gorontalo berbahan dasar jagung dan ikan laut.

Usai acara menyempatkan diri mlipir ke beberapa situs sejarah berupa benteng, makam pahlawan, dan auliya' penyebar Islam di Gorontalo.

Setidaknya saya berkesempatan mengunjungi benteng Otanaha, makam Sultan Amai raja Islam pertama Kerajaan Gorontalo, raja Ilato sosok penyebar Islam Gorontalo yang beberapa waktu lalu diziarahi ustadz Abdul Somad, dan makan Nani Wartabone sang proklamator kemerdekaan Gorontalo 3 tahun sebelum diplokamirkan Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta.

Sebagai seorang santri tradisional yang terbiasa keluar masuk kuburan/makam spontan saja saya meng-iya-kan ajakan dari mas Greg, founder KB, yang juga gandrung menelisik sejarah disetiap kota yang ia kunjungi. Klop!

Selain kaya akan hasil alam berupa jagung, cengkeh, kelapa, sagu, ikan dlsb. Ternyata menyimpan akar historis yang panjang tentang islam dan nasionalisme yang mengakar sehingga menjadi kebudayaan harmonis disaat orang kota (urban) di Jawa sibuk gontok-gontokan mendefinisikan akar islam dan budaya mereka.

Berkunjung untuk berziarah di makam Auliya' penyebar islam Raja Ilato. Berlokasi di atas bukit di tepian danau Limboto. 

Di sini saya tak menemukan agitasi tokoh untuk membenturkan negara, agama, dan budaya dalam forum resmi seperti yang saya hadiri, khutbah Jum'at, juga acara adat. Justru saya menemukan sintesa unik khas Nusantara akan ketiganya. Seperti jamak kita ketahui di desa-desa kita di Jawa puluhan tahun lalu. Atau mungkin lain mengingat kunjungan hanya selama 5 hari saja.

Zizek dalam karyanya on belief menyatakan bahwa Lawan dari kapitalisme-pasar bukan melulu sosialisme, melainkan universalisme. Menurutnya, Kapitalisme selalu mengarah pada ekslusifitas suatu kebudayaan agar bukan menjadi arus utama.

Bisa jadi budaya Gorontalo yang tak memberi ruang segregasi akan ketiga hal yang saya sebut di atas sebab belum terhegemoni seluruhnya oleh kapitalisme-pasar oleh karenanya laku kebudayaan mereka universal dan harmoni.

Sedangkan kebisingan kaum urban hari ini menyoal agama dan budaya mereka disebabkan oleh hegemoni kapitalisme yang mengarahkan mereka pada budaya yang ekslusif. Ini pararel dengan fenomena muslim kota hari ini yang semakin ekslusif ke arah formalisme dan puritanisme.

Berbeda dengan laku keagamaan mereka, dalam sektor produksi masyarakatnya terdapat problem tersembunyi yang menurut hemat saya sangat serius (mungkin termasuk daerah lain diluar Jawa); marginalisasi kebudayaan (cara hidup) lokal akibat gempuran pasar bebas.

Sebagai salah satu akibatnya, Masyarakat Gorontalo yang menempati bagian utara pulau Sulawesi ini hidup dalam dua mode produksi sekaligus, sebagai petani juga nelayan. Namun, masyarakat di sini dikonstruksi kehidupannya dengan nalar Jawa sentris. Salah satu contohnya, masyarakatnya menjadikan beras sebagai makanan pokok daripada jagung atau sagu yang adalah basis produksi mereka.

Hasilnya, nilai surplus pertanian yang diupayakan petani kecil di sini terserap habis akibat konstruksi pasar yang didorong oleh kebijakan politis. Bayangkan saja jagung yang /kg dijual petani hanya 2rb rupiah digunakan untuk membeli beras yang harganya 5x lipatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline