Lihat ke Halaman Asli

Membangun Hukum Berparadigma Holistik

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  [caption id="attachment_206755" align="alignleft" width="300" caption="null"][/caption]  

Perkembangan dan potret hukum di indonesia saat ini dapat di gambarkan sebagai hukum positif yang sedang sakit kritis dan parah. pelbagai persoalan mendasar telah menggurita karena mengakar pada kultur hukum internal (yaitu para penegak hukum beserta filosofo pembuatan perundangan). hal ini wajar jika penilaian sebagian orang bahwa sistem hukum di indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia.

Dalam acara Seminar Nasional tentang, "REFLEKSI KEBANGSAAN; TINJAUAN KEHIDUPAN BERBANGSA MASA KINI DAN KE DEPAN", Prof. Sudjito Atmoredjo mengemukakan bahwa kegagalan hukum positif indonesia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa disebabkan karena hukum lebih mendahulukan kepentingan individu daripada kepentingan sosial, bangsa dan negara sebagai pengantar terwujudnya keadilan yang substansial. ini adalah ciri dari hukum yang berparadigma Legal-Positivisme. "tidak perlu heran apabila pada rana penegakkan hukum selalu di utamak struktur, prosedural yang jelas dan rigit", demikian ungkap Direktur Pascasarjana Fak. Hukum UGM ini dengan nada yang tinggi.

Ciri instrumental dari hukum modern adalah pada penggunaannya dengan sengaja untuk mengejar kemenangan, atau untuk mengantar kepentingan-kepentingan politik, sosial dan ekonomi yang diambil oleh mereka yang berkuasa dan beruang. dengan demikian, serta merta kebenaran dan keadilan substansial tercampakkan.

Dalam situasi yang stagnasi ini, kita butuh lompatan paradigma yang progresif untuk menyelesaikan permasalan-permasalahan hukum yang terjadi. sudah saatnya paradigma Legal-Positivisme kita tinggalkan dan kita masuk pada paradigma baru yang mengedepankan aspek; Participation, Solidarity dan pleasure. Meminjam istilah Fritjof Capra, paradigma holistik. di sinilah dikedepankan aspek-aspek moral religius, komunikasi, interaksi dan integrasi dengan entitas lain, baik vertikal maupun horisontal terhadap sesama manusia. "paradigma holistik ini sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang Komunalistik-Religius", lanjut Guru Besar Fak. Hukum UGM ini. Dengan paradigma holistik, kita optimis ke depan hukum di negeri ini dapat disusun, dijalankan dan ditegakkan dengan baik, sebagai cermin keharmonisan sebagai pilar regulasi dan emansipasi.

_________________________

Salam Kompasiana....

 

Ilyas Rahman

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline