Lihat ke Halaman Asli

Sisi Pahit Dari Berpacaran

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah ‘pacaran’ dapat didefinisikan sebagai interaksi intensif antara pria dan wanita yang didasari komitmen perasaan suka atau mencintai, tanpa perlu disahkan lewat satu momentum pernikahan. Seperti lazimnya sebuah interaksi, kegiatan tersebut meninggalkan suatu dampak. Seperti banyak konsep lain yang bertentangan dengan norma agama - yang sedikit banyak telah mengingatkan akan bahaya berduaan antara lawan jenis yang bukan muhrim di tempat sepi, sebagai peringatan untuk insan agar tidak mendekati zina-, maka aktivitas tersebut, ujung-ujungnya seringkali berbuah kesengsaraan terhadap pribadi-pribadi yang terlibat. Beragam fakta telah menjelaskan betapa aktivitas ‘pacaran’ yang tanpa kendali hati dan akal sehat membawa bencana dan derita sosial yang besar.

Di berbagai media massa atau barangkali juga di sekitar lingkungan tempat kita tinggal maupun bekerja, kita sering menyimak peristiwa-peristiwa tragis yang disebabkan oleh hubungan bebas antara dua insan lain jenis yang memadu kasihnya di luar koridor religi. Maraknya aborsi, pembuangan bayi ataupun kisah seorang gadis yang bunuh diri akibat dinodai lalu ditinggal pergi, merupakan fakta dan realita yang bisa memaparkan betapa buruknya dampak interaksi intensif pria-wanita di luar pengesahan lembaga pernikahan.

Anehnya, para remaja seolah-olah menganggap kegiatan tabu tersebut sebagai hal lumrah dan sesuatu yang wajar diecap dalam pergaulan masa-masa pubertas, meski jelas-jelas fakta menunjukkan bahwa hal tersebut bisa mengandaskan masa depan mereka. Banyak remaja justru merasa minder dan terhina seandainya ia tidak pernah melewati fase berpacaran, terutama saat mereka masih duduk di bangku sekolah bahkan ketika tengah belajar di perguruan tinggi. Mereka malah berusaha keras dengan mengorbankan waktu belajar, tenaga, bahkan uang yang masih berupa suplai dari kedua orang tua, hanya untuk menarik perhatian seseorang yang dikiranya pantas dijadikan kekasih.

Budaya berpacaran di kalangan remaja, berkembang atas pengaruh dari berbagai kultur wadak yang mudah merasuk dan cenderung diadopsi begitu saja oleh kaum remaja. Kultur wadak tersebut dikemas secara menarik dalam film-film bertemakan percintaan, lagu-lagu cinta yang berlirik pujian terhadap lain jenis yang berlebihan, pengharapan atau keputus-asaan karena buaian cinta seorang kekasih. Film telah mengilhami bagaimana hubungan kedua insan berlainan jenis dijalin melalui ruang-ruang falsafi yang indah.

Tidak cukup dengan pendekatan filosofis saja, film-film populer dengan tema percintaan menyuguhkan pula adegan kontak fisik, mulai dari ‘hanya’ saling menggenggam tangan, berpelukan, berciuman sampai kontak fisik layaknya suami-istri. Visualisasi dari film-film tersebut telah menghadirkan lukisan indah yang menipu di benak para remaja, serta membangkitkan hasrat naluri yang mereka punyai. Tetapi, karena belum cukup secara umur dan materi, akhirnya mereka yang terpengaruh, lebih suka memenuhi kebutuhan psikis dan biologisnya dengan cara berpacaran. Padahal, sarana tersebut tidak lain hanyalah sebuah wadah tipuan setan, yang selalu tampak wajar dan juga seringkali teramat manis dipandang.

Sepantasnya manusia percaya bahwa aturan agama pasti menawarkan pilihan jalan yang terbaik. Jika merasa diri belum cukup mampu untuk menikah, tak perlu menyalurkan hasrat naluriahnya ke dalam sebuah jalinan aktivitas berpacaran. Karena jodoh di tangan Tuhan, seseorang yang kita pacari, bisa jadi bukanlah jodoh kita yang sejati meskipun kita sama-sama berjanji untuk menikah di suatu hari nanti. Banyak pasangan yang berpacaran sampai bertahun-tahun akhirnya malah berpisah, tidak saling menikah. Bayangkan jika kita termasuk orang yang ditakdirkan mengalaminya. Betapa meruginya kita, jika perhatian, harta, bahkan mungkin penyerahan secara fisik telah kita lakukan, namun semuanya seakan tak berarti ketika ‘si dia’ pergi begitu saja. Sudah barang tentu, suami atau istri yang ditakdirkan menjadi jodoh kita tak akan bisa menempati posisi person yang istimewa. Bahkan pada beberapa kasus, perasaan cemburu dan perasaan tidak istimewa tersebut, seringkali efektif meretakkan keharmonisan sebuah keluarga. Sehingga cita-cita rumah tangga yang sakinah- hanya bisa dipisahkan oleh kematian-, yang merupakan perwujudan dari ‘surga dunia’, tak akan pernah kita rasakan sempurna.

Karena buah pahit dari berpacaran secara faktual dan realita membawa kesengsaraan di masa sekarang dan masa kehidupan yang akan datang, maka seharusnyalah kaum pemuda-pemudi tidak melakukan interaksi intensif yang disebut ‘pacaran’ tadi. Lebih baik kegiatan mereka dialihkan pada berbagai aktivitas merawat fisik, memperindah hati, menekunkan ikhtiar, selagi belum ditakdirkan Tuhan mendapatkan jodoh. Dengan usaha yang optimal dan kontinyu secara moril dan materiil, maka Tuhan kelak pasti memberikan pasangan terbaik, yaitu seseorang yang dapat menjalin kasih dan tempat kita mempersembahkan keutuhan diri, karena itulah janji Tuhan yang termaktub dalam berbagai kitab suci, literatur, referensi agama.

Kemesraan akan hadir dengan segala keindahannya, karena dua orang yang taat menjaga kesucian, akan sama-sama merasa istimewa dihadapan pasangannya. Itulah makna hakiki dari hubungan cinta antara seorang lelaki dan seorang wanita yang diberkahi Tuhan. Yang telah Ia jadikan pula sebagai salah satu jalan utama untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan fana maupun kehidupan baka suatu hari nanti.(aea)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline