Lihat ke Halaman Asli

Fanatisme Buta

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Setiap malam minggu atau malam senin, kalau saya membuka facebook, ada saja satu-dua status kawan yang terkait soal sepakbola. Ya, akhir minggu selain asyik dipakai memadu-cinta juga wisata kuliner, keasyikan berikutnya adalah menonton pertandingan sepakbola. Berbagai pertandingan dengan titel macam-macam seperti, “derby ibukota”, “duel klasik” sampai pertandingan bertitel seram semisal, “tarung hidup mati”, siap digelar oleh berbagai liga nasional dan mancanegara. Banyak pecandu bola yang menonton langsung ke stadion, lebih banyak lagi mereka yang menyaksikan lewat televisi, mendengarkan radio, atau streaming via internet.

Jangan mengira nonton bola di televisi kalah dramatis dari nonton bola secara langsung di stadion. Di kampung tempat tinggal saya, pernah terjadi pertarungan sengit antara kakak laki-laki dan adik perempuannya, hanya gara-gara rebutan channel televisi. Lebih gokil lagi waktu saya mendengar dari tetangga dan kaum kerabatnya bahwa, pertarungan sengit kakak-beradik yang diakhiri dengan luka beratnya sang adik dan masuk bui-nya sang kakak itu diakibatkan oleh, sang adik memaksa sang kakak yang tengah menonton film drama untuk pindah ke channel sepakbola. Peristiwa yang lebih memilukan terjadi di kampung seberang tempat tinggal saya. Di sana, seorang kakak tega menusuk adiknya hingga tewas, hanya gara-gara sang adik terus-menerus mengejek tim favorit kakaknya yang saat itu tengah ketinggalan skor.

“Lihat, tuh. Tarung hidup mati enggak cuma ada di lapangan bola, ternyata. Di tribun penonton sampe didepan televisi pertandingan hidup mati itu kejadian juga.”seloroh seorang tetangga, waktu menyaksikan peristiwa yang menggegerkan kampung saya itu. Eh, beberapa bulan kemudian, malah beliau sendiri ditemukan wafat dihadapan layar televisi, yang menurut anaknya sedang menayangkan siaran langsung sepakbola. Seingat saya, bertepatan dengan saat kematian beliau, babak semifinal UEFA Champions League antara Barcelona dan Chelsea sedang digelar. Entah beliau mendukung yang mana, yang jelas wafatnya beliau yang konon dikarenakan serangan jantung itu mengindikasikan bahwa, untuk memacu emosi dan greget tidak perlu menyaksikan tim nasional negara sendiri atau bond sepakbola kota asal. Kematian Si Bapak yang setahu saya belum pernah datang apalagi tinggal di kota Barcelona atau menetap di kota London itu mengisyaratkan, fanatisme bisa melintasi batas wilayah dan perbedaan ras.

Fanatisme dalam sepakbola, pernah bahkan sering memicu berbagai tragedi memilukan seputar lapangan maupun diluar arena pertandingan. Bukan baru-baru ini saja, dunia sepakbola pernah mencatat betapa fanatisme bisa membuat krisis yang parah. Pada usia 9 tahun, saya yang cuma ‘rakyat bola’ ini saja pernah menjadi saksi tidak langsung Tragedi Heysel, sewaktu ribuan pecandu bola tewas terhimpit dan terinjak, pasca bentrok antara pendukung Liverpool dan Juventus. Saking geramnya, UEFA atas rekomendasi FIFA sampai melarang klub-klub Inggris untuk ikut Liga Champions sampai 5 tahun lebih. Tapi hukuman yang panjang itu tidak begitu saja mematikan fanatisme radikal dikalangan pecandu bola Eropa. Ketika istilah “hooligan” diterakan pada suporter asal Inggris saat itu, yang dijuluki malah merasa bangga, dengan jumawa-nya menepuk dada, dengan penuh kepercayaan diri menggelar spanduk kibarkan bendera lalu berteriak lantang,”We are hooligans !”

Kebanggaan seperti itu tidak hanya pernah diungkapkan atau dimiliki oleh publik hooligan asal Inggris saja. Selain sudah menjadi sifat suporter sepakbola di beberapa negara Eropa atau Amerika Latin, sifat hooliganist ini juga menjangkiti suporter sepakbola di Indonesia. Tentu saja, gaya hooliganist lokal yang sering mendapat liputan spesial adalah gaya hooligan a la suporter yang dinamakan Bonek, para pendukung Persebaya Surabaya. Ulah Bonek yang paling mutakhir adalah saat sekitar 4000 bonek berangkat dari Surabaya ke Bandung via Solo, pada tanggal 23 Januari 2010 lalu. Salah satu harian pagi nasional mengabarkan, sepanjang perjalanan Bonek  melakukan tindakan anarki berupa pelemparan batu dan penganiayaan terhadap sejumlah orang. Beberapa warga yang sempat jadi sasaran hooliganism a la Bonek ini diantaranya, wartawan Antara, Hasan Sakri Ghozali, dan anggota kepolisian, Briptu Marsito. Hasan Sakri mengalami luka di kepala sampai harus opname, sedangkan Marsito dan seorang tukang asongan terpaksa dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kepala bocor diterjang batu. “Edan !,” bilang hati saya, waktu membaca dan menonton liputan peristiwa itu. Benar apa kata Si Bapak tetangga yang wafat selagi nonton Barca versus Chelsea. Pertandingan hidup-mati dalam sepakbola tidak cuma berlangsung dilapangan, tapi juga diluar lapangan. Yang tidak ada hubungannya dengan kesebelasan yang lagi bertarung-pun bisa kena sasaran vandalisme para hooliganist. Edan tenane !

Habis membaca page-page suporter dan komen pertandingan bola di situs-situs berita, yang penuh ekspresi saling membanggakan diri dan emosi saling mencaci-maki, saya bergumam sendirian,”Bisa enggak ya menikmati pertandingan dan mendukung tim kesayangan tanpa tegang ?” Waktu pertanyaan itu saya ajukan pada seorang kawan- namanya Asman-, kawan itu bilang,”Enggak asyik nonton bola enggak pakai tegang, enggak pakai emosi. Ya enggak bisalah menikmati pertandingan bola tanpa sport jantung.” Kalau begitu, kira-kira bisa tidak menikmati pertandingan tanpa saling ejek, yang buntutnya berkelahi antar suporter ? Asman lugas menjawab”Enggak asyik nonton bola tanpa gregetan atau tanpa ejek-ejekan. Tapi minimal, kalau kita tahu batas dan punya selera humor yang baik, enggak perlu terjadi itu gontok-gontokan diantara suporter bola.” Selera humor yang baik ? Apa itu selera humor yang baik ? Asman menjawab lagi,”Ya, humor yang kreatiflah. Ejek-ejekannya pakai humor kreatif gitu. Humor yang kira-kira menohok tawa, bukan menohok harga diri yang diejek.” Contohnya ? Asman langsung menyanyikan sebuah lagu yang konon termasuk kategori ‘rasis’, yang suka dinyanyikan para kelompok suporter Indonesia, “V akan tetap jaya... C dibunuh sajaaaa....” Hanya saja, lirik dibunuh diganti menjadi “disate sajaaaa...” oleh Si Asman. Lho, kok disate ? “Ya, disate ‘kan konotasinya lucu,”timpal kawan saya sambil cengengesan,”...daripada pakai bahasa dibunuh. Bunuh itu identik dengan hidup dan mati. Kalau sate ya identik dengan lapar dan kenyang, toh ?”

Satu pekan lewat selepas obrolan santai tapi serius dengan Asman. Hari senin pagi saya hampiri meja Asman, untuk memberi selamat karena kesebelasan favoritnya, Manchester United, menegaskan ambisi juaranya dengan menekuk Arsenal, salah satu dari The Big Four in Premiere League. Dengan raut wajah masam dan malas, Asman hanya menganggukkan kepala waktu menerima ucapan selamat. Melihat reaksinya yang acuh tak acuh, saya berpaling kepada Rully, yang mejanya bersebelahan dengan meja Asman. Rully ini pendukung laten Arsenal, sejak jaman Ian Wright merumput dan mencetak rekor 128 gol dalam 221 pertandingannya bersama The Gunners.  Tadinya saya mau mengolok-olok, sekadar bercanda, soal kekalahan The Gunners dari rivalnya Red Devils, yang didukung ‘habis’ oleh Asman, sahabat dan rekan kerja yang paling dekat lokasi mejanya. Demi menyaksikan raut dan polahnya yang setali-tiga uang dengan Asman, saya akhirnya berangsur dari lokasi kerja mereka berdua. Baru saja saya meletakkan tas laptop di meja kerja, seorang rekan menepuk pundak dan berbisik,”Jangan ngegoda Asman atau Rully. Dua-duanya lagi sensitif. Tadi berantem hebat, Bang.” Lho, bagaimana bisa berantem hebat ? Rekan yang menepuk pundak saya lantas bercerita, awal dari perseteruan itu adalah lagu yang dinyanyikan Asman. Lagu yang mana ? “Ikut sebentar, Bang,”bisik kawan saya sambil menarik saya ke ruangan lain. “Nyanyinya diulang-ulang, Bang. Lagunya Asman begini nih : “Red Devils tetap jayaaa... The Gunners disate sajaaaa....” gumamnya sambil menahan tawa. Mendengar itu, giliran saya yang jadi kesal sekaligus masygul. Di kampung tempat tinggal, sepakbola nyaris memutuskan hubungan antar saudara. Di kampung seberangnya, sepakbola bahkan secara tragis telah berhasil memutuskan ikatan persaudaraan. Sepakbola nyata juga menjadi penyebab tetangga kena serangan jantung, wartawan dan tukang koran babak-belur, bahkan membuat ribuan orang tewas di stadion Heysel. Eh, sekarang sepakbola juga yang mengancam tim kerja yang saya pimpin pecah, lantaran ada anggotanya lagi marahan hebat.  Waktu kekesalan ini saya bicarakan dengan bapak (bapak saya mantan pemain bola, lho), bapak spontan berkata tegas,”Bukan sepakbola, tapi fanatisme buta, yang bikin kacau semua yang kamu bilang itu !”(abangedi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline