Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Jalan Tol adalah Bisnis dan Jalan Publik adalah Kepentingan Rakyat

Diperbarui: 27 Mei 2018   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Jalan tol dibangun dengan hitung hitungan bisnis. Jadi jangan heran jika tarifnya pun tidak bisa dikatakan murah. Apalagi setiap 2 tahun  tarifnya naik, disesuaikan dengan inflasi dll. Ini sudah diatur oleh regulasi, jadi jangan protes, hehee. 

Apakah bisnis jalan tol menguntungkan? Untuk PT.Jasa Marga yang mengelola tol Jakarta Bogor, tol Cipularang, tol Lingkar Luar Jakarta, dan beberapa ruas tol lainnya, laba bersih perusahaan mencapai trilyunan rupiah. Gimana gak laba ya, jalan tolnya aja macet banget seperti Jagorawi, tol JORR, Cipularang.

Kebutuhan mobilitas area ini sangat tinggi, karena alternatif jalan publiknya tidak memadai. Dulu ke Bandung mesti lewat Puncak, yang secara jaraknya aja lebih jauh dari Cipularang. Sudah gitu macet banget karena Puncak tempat wisata. Jadi tol Cipularang menjawab kebutuhan itu. 

Hanya yang gak saya habis pikir, perencanaan tata ruang jalan tolnya gimana yak. Di Cikampek ada titik dimana mobil yang mau masuk atau keluar dari tol Cipali. Lah macetnya ya gak ketulungan di sini. Titik temunya sama. Gitu juga sekarang lagi dibikin jalan tol layang oleh Bukaka/Kalla Group, lah nanti titik temu kenderaan pas keluar tol layang ini gimana? Apa gak macet luar biasa tuh? Lancarnya ya pas diatas doank?

Oh iya, karena pembuatan jalan tol ini bisnis, mengharapkan keuntungan, maka tarifnya memang tidak murah. Jadi ramai atau tidaknya jalan tol ya tergantung kebutuhan masyarakat sebagai pengguna, punya daya beli, dan alternatif transportasi yang lain tidak memadai, tidak praktis.

Seperti contoh Cipali. Tol ini dibangun dari 2011-2015. Saya pernah pas bulan Agustus 2017 lalu berkendara mobil dengan suami melewati Cipali hendak ke Semarang. 

Ampiun, luar biasa sepi, seolah hanya kami yang berkendara. Jalan sepi dan berbunyi, karena sebagian jalanan ternyata bukan dari aspal yang empuk untuk ban mobil, melainkan  dari beton. Jadi bunyinya ngiung ngiung ribut seperti badai.  Padahal tol ini panjang sekali, karena sepi, orang cenderung ngebut banget dan rawan kecelakaan. 

Pas keluar di Brebes ternyata rada tersendat. Lah,  kenapa mereka gak lewat tol? Kata suamiku, ya truk truk itu beratlah bayar tol segitu, mending mereka lewat pantura aja. 

Bukan hanya Cipali yang sepi, becakayu, surabaya-mojokerto, jombang - mojokerta, medan-binjai, kuala namu-rampah masih sepi. Ini karena hitungan tarifnya tidak masuk daya beli masyarakat plus praktis apa tidaknya itu.

Jika ingin rakyat menikmati akses jalan yang layak sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi, tentu kita juga mengharapkan pemerintah menggenjot pembangunan jalan publik yang memang dibutuhkan masyarakat. Jalan yang luas, yang terintegrasi, yang dibutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline