Salah satu masalah domestik yang menyebabkan rupiah terus melemah adalah neraca perdagangan yang negatif. Impor terlalu banyak, sementara ekspor terlalu sedikit.
Angka neraca perdagangan Indoneaia bisa kita baca di rilis yang dilakukan oleh BPS setiap bulan. BPS adalah Badan Pusat Statistik yang tentunya harus memiliki instrumen yang valid mengenai berapa sih angka ekspor dan impor yang sesungguhnya. Dan data itu harusnya juga dikonfirmasi kepada pihak asosiasi pelaku usaha, benarkah angkanya segitu?
Nah dari Januari-Februari 2018 ini, neraca perdagangan Indonesia defisit terus. Selama 2 bulan itu saja total defisitnya sudah memcapai USD 780 juta. Paling parah bulan April lalu, dimana BPS merilis defisit neraca perdagangan hingga USD 1,63 milyar. Data ini terparah sejak tahun 2014.
Walau defisit terus, ada yang anomali, yaitu data BPS untuk neraca perdagangan bulan Maret 2018. Data yang dikeluarkan pada tanggal 16 April 2018 ini sebelumnya diprediksikan akan mengalami defisit sebesar USD 50-70 juta. Diprediksi negatif karena impor migas yang luar biasa.
Tetapi ternyata neraca perdagangan bulan Maret itu surplus USD 1,09 Milyar. Dan apa sektor penyumbang ekspor yang besar itu? Ternyata sektor pertanian yang ekspornya meningkat hingga 20% dengan produk utama sarang burung dan aromatik. Masa sih?
Yang saya merasa aneh, antara prediksi defisit USD 50-70 juta, menjadi surplus USD 1,09 milyar itu kan jauh sekali melesetnya?
Kedua keanehan BPS adalah soal tingkat pengangguran. Ternyata definisi Bekerja menurut BPS: kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit selama 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu (sumber: www.bps.go.id).
Jadi kerja hanya 1 jam seminggu sudah masuk kategori 'bukan pengangguran'. Itu definisi acuannya darimana ya?
Begitu juga untuk acuan kriteria miskin menurut BPS, adalah orang yang hidupnya dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah orang dengan batas pengeluaran Rp 354.386 per kapita (data 2016). Atau Rp 11.800 perhari, yang rasanya angka itu hanya cukup untuk makan sekali sehari saja.
Standar itu sangat jauh dengan standar garis kemiskinan PBB, yaitu USD 1.90 perhari. Atau Rp 26.600/hari atau Rp 798.000/bulan.
Yang kita harapkan data BPS jujur dan valid. Bisa menggambarkan kondisi riil masyarakat, sehingga menjadi panduan.pengambil kebijakan untuk menggenjot perbaikan negeri Indonesia tercinta ini.