Setiap melalui jl.perdatam Pancoran, ke rumah mertua, saya mesti melewati kantor pusat Projo. Dan selalu ngebatin, kok projo gak jadi partai yak?
Banyak partai baru bermunculan. Dan selalu kita tahu mereka 'milik' siapa. Walaupun kadang tidak terang terangan.
Apalagi ketika saya pikir parpol baru bisa mengusung capres sendiri jika pileg dan pilpres serentak dilakukan. Ini lebih dinamis dan menggairahkan sebenarnya,dan lebih menyentuh esensi demokrasi.
Tetapi sayang, gugatan terhadap batas kursi/suara yang ditetapkan pemerintah gagal di MK. Jadi bisa dipastikan capres mesti diusung parpol besar, atau koalisi besar dan calonnya sangat terbatas. Bisa jadi juga calon tunggal. Yahhh...
Jadi Jokowi tetap bukanlah pemilik partai. Sementara penentuan capres ditentukan para ketua partai. Tidak ada kepastian siapa yang akan diusung hingga menjelang hari 'H'.
Bisa dipahami, jika ada perasaan 'tidak aman' pada Jokowi tentang parpol yang akan mengusungnya. Konsolidasi pun dilakukan sejak awal.
Itulah sebabnya rasanya terlalu kepagian jika era Setnov saja Golkar sudah mendukung Jokowi capres. Menyusul partai lain seperti Nasdem. Padahal siapapun tahu, yang mengusung Jokowi adalah parpol sebesar PDIP.
Dan ketika tanpa diduga Setnov jadi tersangka KPK, bisa dimengerti mengapa Golkar diberi karpet merah di kabinet Jokowi. Diberikan keistimewaan, dimana 2 menterinya menjabat ketua umum dan sekjen Golkar. Ketua DPR juga Golkar. Beruntung banget emang Golkar, hahaa.
Kekuasaan parpol memang besar sekali. Kata-kata petugas partai seperti kata sakti. Padahal Jokowi presiden yang dipilih oleh rakyat. Kalau sungguh-sungguh mengangkat kehidupan rakyat dengan tulus mesti akan terpilih kembali.
Demokrasi punya jalannya sendiri untuk memilih pemimpin yang terbaik. Yang bisa mengangkat kehidupan petani, nelayan dan wong cilik. Yang secara nyata bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bukan suara parpol.