Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Kejanggalan Impor Daging Sapi; Demi Target Harga Jokowi?

Diperbarui: 2 Juni 2016   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ini tradisi pemerintah setiap menjelang puasa dan lebaran. Kenaikan harga daging sapi menjadi alasan yang paling sahih untuk impor daging sapi. Daging loh, bukan bakalan! Lucunya, tadinya rencana impor hanya 10.000 ton, tetapi kemudian berkembang menjadi 27.400 ton! Gila, ketika era SBY,  Bulog impor 1000-an ton daging saja saya sudah mengkritik keras. Lah ini bukan main-main, 27.400 ton!

Impor ini demi mengejar target Jokowi dimana harga daging sapi selama puasa harus dibawah Rp 80.000.  Darimana angka Rp 80.000 ini yak? Lagian, saya yakin jika pemerintah memang bisa memutus rantai perdagangan sapi dari peternak hingga konsumen akhir, menjaga persaingan bebas (bukan kartel; harga ditentukan oleh segelintir orang), harga daging  bisa kompetitif di kisaran 90 ribu - 100 ribu.  Sayangnya, urusan kartel, penguasaaan RPH, belum ditangani oleh pemerintah dengan baik.  Jadi harga gampang tergerek naik.

Selain itu, bukankah ketika puasa, rata-rata konsumen meningkat daya belinya karena THR atau gaji ke-13 (bagi PNS)? Lebih elok jika daya beli itu memang diarahkan untuk membeli kebutuhan yang bersifat lokal, apalagi kalau konsumen dengan daya belinya bisa mensejahterakan peternak dan pedagang sapi lokal. Daging sapi yang berkualitas, lokal, dengan harga yang 'wajar' adalah nilai yang bisa dibeli oleh konsumen, daripada barang konsumtif gak jelas lainnya. 

Nah, yang saya bingung, harga impor kenapa bisa murah banget? Padahal rupiah makin loyo dikisaran Rp 13.700-an? Impor ini juga bisa memicu pelemahan rupiah juga, sebagai hubungan timbal balik. 

Beberapa kejanggalan impor daging sapi oleh pemerintah ini menurut saya:

1. Mulai dari Tom Lembong, Amran, Rini  hingga Jokowi tidak pernah menyebutkan negara asal impor daging sapi lainnya, selain Australia. Mereka hanya menyebut 'negara lain'. Ini harus diwaspadai, karena banyak negara di dunia yang belum bebas dari penyakit mulut dan kaki (PMK) pada sapi, seperti India atau Brazil. Membeli daging impor dari beberapa negara ini bisa jadi akan sangat murah, tetapi beresiko tertular PMK. Padahal Indonesia sudah bebas dari PMK pada sapi. 

2. Yang diimpor adalah daging beku. Daging beku ini menyesatkan dari sisi beratnya (karena lebih 'berair'), kemudian juga dari sisi kualitasnya. Ketua Asosiasi Pedagang Daging, Asnawi, pernah mengungkapkan bahwa daging beku ini bisa murah karena merupakan daging sapi yang amat tua, sudah saatnya dimusnahkan. Di Australia daging jenis ini untuk makanan hewan peliharaan, dan hanya dihargai Rp 10.000/kg. Jadi dengan biaya pengiriman dan administrasi, kalau harga jual Rp 80.000/kg, importir akan mendapatkan marjin keuntungan yang luar biasa. 

3. Ketika mengimpor daging beku, maka tidak akan ada nilai tambahnya sama sekali bagi penyerapan tenaga kerja. Beda jika yang diimpor adalah sapi bakalan, sehingga ketika mengurusnya akan ada efek bergandanya dari sisi ekonomi kerakyatan.

4. Jumlahnya yang luar biasa, yaitu 27.400 ton! Kenapa bisa berubah dari 10.000 ton ke 27.400 ton! Analisa apa yang dipakai, kecuali hanya memanfaatkan keuntungan berlipat dari impor daging sapi ini?

Yang menyedihkan, ada 14.000 sapi dari NTT yang katanya siap dikirim ke Jakarta. Lah, kalau harganya dibawah Rp 80.000, gimana peternak sapi ini bisa untung? Mending pulang kandang aja deh. Yang jelas, kalau dibikin rendang, daging beku itu gak enak. Suer deh. Yang enak dan mantap itu emang daging sapi segar. Beda aja rasanya. 

Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline