Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Ketika Karni Ilyas Menghentikan Acara ILC...

Diperbarui: 24 April 2016   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - Karni Ilyas (Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan)"][/caption]Sebenarnya tulisan ini terkait posisi media, ketika menghadapi ajang pemilihan, baik tingkat daerah maupun pusat.  Seperti ketika Nasdem mendukung Ahok, apakah otomatis, misalnya acara Mata Najwa juga kehilangan kenetralannya? Bagaimana jika produser suatu acara memiliki pilihan politik yang berbeda dengan pemilik perusahaan media tersebut?

Apalagi media TV memiliki jangkauan yang lebih luas daripada media sosial. Karena budaya visual rakyat Indonesia masih jauh lebih tinggi daripada budaya membaca. Bahkan ketika media sosial menyeruak sebagai alternatif kampanye murah meriah, tetap tidak akan mampu menjangkau kalangan tertentu yang emang males membaca, apalagi emang gak bisa, gak mampu ataupun gak sempet terkonek internet.

Tetapi kampanye di media televisi juga belum tentu mampu mendonkrak elektabilitas seseorang. Seperti Harry Tanoe, yang gencar banget kampanye di TV miliknya sendiri; Global, MNC, Inews; tetep aja kali rakyat gak ngeh sama die. Begitu juga misalnya, ARB ketika dulu gencar kampanye di TV One, Anteve, dan seterusnya, tetap menurut saya gak mampu meningkatkan elektabilitas seorang ARB. Karena rakyat bukan segerombolan massa yang begitu bodoh sehingga gampang digiring untuk memilih tanpa alasan yang jelas.

Justru bukan kampanye sengaja yang berpengaruh ke rakyat, saya yakin. Tetapi berita-berita gimana seorang pemimpin mengatasi masalah tertentu, atau bersikap tertentu yang sangat menarik bagi rakyat.  Seperti Ahok, yang sikapnya sering menjadi berita di TV yang berskala nasional, membuat masyarakat banyak yang ngeh sama dia, jauh lebih ngeh dibandingkan Harry Tanoe ataupun ARB, walaupun dalam perspektif pro dan kontra.

Selain berita, saya yakin, acara seperti Mata Najwa ataupun ILC (Indonesia Lawyers Club) yang dipandu oleh Karni Ilyas juga memberikan pengaruh tertentu kepada masyarakat yang menontonnya. Kedua acara ini cukup tinggi rating-nya, sehingga menjadi tontonan yang ditunggu juga oleh masyarakat, dibahas dan sedikit banyak memberikan informasi ataupun perspektif baru terkait suatu isu.

Yang menarik mengenai ILC, Ketika ajang pemilihan Presiden, Karni Ilyas menghentikan acara ini. Mengapa? Ternyata karena pilihan politik Karni Ilyas emang berbeda dengan bos pemilik TV-nya. Ketika itu KI emang mendukung Jokowi, bukan Prabowo. Sehingga secara nurani,  dia gak bisa donk bikin acara yang 'di-setting' menguntungkan Prabowo, hehe. Kali ya.

Gimana dengan Pilgub DKI? Sebenarnya bisa dikatakan kampanye Pilgub DKI belum dimulai. Jadi bakal calon gubernur mau jungkir-balik bikin berita, wara-wiri di media atau blusukan ke masyarakat, pada dasarnya cagub DKI itu belum ada. Kalaupun Teman Ahok sudah menyerahkan ke KPUD KTP dukungan, tetap akan ada verifikasi dari KPUD, yang rencananya akan dilakukan sekitar Agustus 2016. Apalagi bakal calon gubernur lainnya yang malah belum ada satu pun yang jelas, partai mana yang mau mendukung. Setahu saya, jadwal tercepat pengumuman Cagub resmi mungkin baru September 2016.  Gak tahu ya, kalau jadwal resminya dikoreksi, misalnya jadi dipercepat.

Tetapi itu pun, karena Yusri katanya mau maju (padahal belum ada partai yang mendukung), Karni Ilyas sebagai produser acara Catatan Yusril langsung menghentikan acara ini. Karena bisa bias, acaranya jadi panggung kampanye seorang Yusril. Makanya lebih baik dihentikan. Saya mendengar sendiri di acara terakhir Catatan Yusril itu, Yusril menyebut dihentikan karena terkait posisinya yang hendak maju di Pilgub DKI.

Sedangkan sekarang, kalau Karni Ilyas membahas masalah hukum terkait kasus tertentu ya karena kasus itu sedang menarik perhatian masyarakat. Salah satu alasan KI mengangkat tema di ILC adalah karena magnitude isunya besar sekali. Walaupun bisa jadi, karena tidak semua ahli hukum yang datang, kasus-kasus tertentu jadi penggiringan opini. Seperti kasus Jessica, dominannya ayah Mirna berbicara menurut saya sangat menggiring opini publik (karena bahkan Kompas pun banyak mengutip dari acara ini). Padahal yang terpenting adalah data dan fakta terkait kopinya yang beracun tersebut. Fakta bahwa barang bukti misalnya tidak diamankan polisi, tetapi diamankan pemilik cafe adalah hal yang aneh menurut saya. Seharusnya data, fakta, dan posisi terkait hukumlah yang menjadi fokus acara ini. Sehingga semuanya bisa didudukkan dengan terang-benderang.

Semoga nurani seorang jurnalis senior dalam membedah masalah hukum tetap menjadi ciri khas seorang KI. Bukan karena kepentingan tertentu, tetapi semata demi kebaikan negeri ini. Untuk Jakarta yang lebih baik dan Indonesia yang lebih beradab secara hukum.

Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline