Thomas Lembong, seorang pengusaha muda yang kemudian ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan. (Kompas.com)
Setelah terpilih jadi Menteri Perdagangan, Tom Lembong melakukan gerak cepat dalam mengeluarkan regulasi setara Peraturan Menteri (Permen). Gerak cepat itu tidak tanggung-tanggung, berjumlah 9 Permendag, berupa 4 mencabut permendag lama dan 5 revisi permendag sebelumnya. Yang menarik dari peraturan yang dikeluarkan tersebut, semuanya merupakan regulasi yang amat sangat mempermudah impor.
Dalam Permendag baru tersebut, persyaratan untuk menjadi importir dipermudah, sehingga tidak perlu lagi Angka Pengenal Importir. Ketentuan sebelumnya mengenai impor produk hortikultura, soal SNI wajib, pencantuman label bahasa Indonesia pada label kemasan, impor ikan, tekstil, ban, kosmetik, bahkan impor cengkeh untuk memenuhi kebutuhan industri rokok, semuanya amat dipermudah.
Tentang SNI wajib misalnya, itulah instrumen suatu negara melindungi konsumen domestik dari produk impor yang substandar, produk yang amat jelek kualitasnya, tetapi berharga murah meriah, masuk ke negara kedaulatan RI. Jadi SNI Wajib sebagai 'barrier' yang dibenarkan dalam perdagangan lintas negara. Setiap negara wajib melindungi warga negaranya dari produk yang tidak aman bagi manusia, bahkan untuk negara maju, barrier itu bisa dalam konteks standar produk yang tidak mencemarkan lingkungan. Sayang, Tom Lembong melonggarkan peraturan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, peraturan tersebut semua terkait kementerian lain, apakah sudah dikoordinasi dengan baik? Apakah sudah ada kajian mendalam mengenai kemampuan produksi dalam negeri, daya saing dengan produk impor dan dampak jika impor dipermudah? Tidakkah itu akan mematikan produksi dalam negeri sendiri? Kalau terkait bahan kimia bahan baku industri yang tidak diproduksi dalam negeri, tidak akan masalah jika memang ada kebutuhan untuk impor.
Dan ternyata itulah yang membuat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti meradang. Terkait kemudahan impor ikan, dalam suatu siaran TV, beliau bilang, terus yang menampung ikan lokal hasil tangkapan nelayan Indonesia siapa? Sekarang hasil ikan melimpah. Jika impor disebut untuk kebutuhan industri, atau untuk re-ekspor, itu juga perusahaan lokal atau asing? Getir banget deh. Gak sampe kali pikiran Mendag soal nelayan. Apalagi petani. Menteri Susi juga bilang, kalau impor salmon yang emang gak ada disini, ya silahkan saja. Tetapi jika tongkol, teri yang produksinya berlimpah, kenapa bisa ada jalan tol untuk impor?
Entahlah, yang saya khawatir, Menteri yang pro-lokal bisa terjengkal. Karena kuatnya lobbi importir di semua lini institusi dan kebijakan negeri ini? Maju terus Menteri Susi, suarakan kegelisahanmu soal cengkeraman impor di negeri ini.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H