Tanggal 15 Juli 2015 keluar Peraturan Presiden no.83 tahun 2015 mengenai Kementerian Agama yang ditanda tangani oleh Jokowi. Pada bagian keduabelas pasal 45 regulasi ini terdapat judul 'Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal' (BPJPH). Pasal berikutnya merupakan fungsi dari BPJPH, yaitu: menyusun kebijakan teknis, rencana dan program di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal (PJPH), pelaksanaan PJPH, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan dibidang PJPH, pengawasan, administrasi dan lainya yang ditugaskan Menteri.
Adanya BPJPH ini merupakan tindak lanjut dari UU no. 33 tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal. Didalam UU yang lahir seminggu sebelum pelantikan Jokowi tersebut, terdapat amanah pembentukan BPJPH sebagai badan penyelenggara jaminan produk halal.
Terus gimana jadinya fungsi MUI? Bukankah MUI selama ini yang mengeluarkan sertifikasi Halal? Memang, dengan adanya peraturan ini, maka MUI tidak lagi mengeluarkan sertifikasi Halal. Sertifikasi tersebut akan dikeluarkan oleh BPJPH. Tetapi karena sistemnya belum terbangun, maka untuk sementara masih di MUI.
Rencananya dalam sistem yang tampaknya akan lebih rapi dan akuntabel tersebut, BPJPH akan menunjuk LPH (Lembaga Penjamin Halal; dalam sistem sertifikasi SNI, ini disebut LSPro) yang 'terbuka'. Bisa saja LPPOM milik MUI yang selama ini sudah ada, atau mungkin ormas lain yang sudah memiliki sistem audit Halal. LPH ini yang akan melakukan audit terhadap produsen yang mengajukan sertifikasi Halal. Jika audit sudah ok, maka LPH akan mengajukan kepada BPJPH mengenai sertifikasi Halal tersebut. BPJPH tetap melibatkan Komisi Fatwa MUI dalam menyatakan resmi bahwa produk tersebut 'Halal'.
Kunci dari akuntabel atau tidaknya sertifikasi Halal, tentu ada di LPH tersebut. LPH nantinya juga akan diakreditasi sistemnya oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), sementara auditornya juga harus sudah bersertifikasi proses Halal. JIka sistemnya sudah terakreditasi, maka laboratoriumnya juga harus sudah terakreditasi, dengan peneliti atau penguji yang kompeten.
Bagi pangan, prasyarat untuk diajukan sertifikasi Halalnya harus sudah ada ijin edar dalam bentuk P-IRT (untuk pangan industri rumah tangga), atau MD (pangan lokal skala nasional) atau ML (pangan impor). Diharapkan audit untuk pangan impor ini juga sangat ketat dan teliti, sampelnya juga seharusnya diuji dulu, jangan hanya berdasarkan dokumen yang ada. Jangan sampai produk lokal ribet prosesnya (termasuk proses audit), eh produk impor langsung bisa masuk ke pasar Indonesia hanya berdasarkan dokumen.
Harapannya, tentu sistem ini lebih terbuka, transparan, akuntabel, biaya terjangkau, dan ada kepastian waktu dalam proses sertifikasinya. Karena jika mahal, konsumen juga yang menanggung biayanya, apalagi kalau sampai lama prosesnya. Semakin lama, bisa dianggap itu sebagai biaya. Kebayangkan, kalau biayanya makin mahal, produk Indonesia bukannya makin kompetitif, tetapi makin tidak mampu bersaing. Tetapi kalau terjangkau, bisa jadi ini 'nilai tambh' produk tersebut bagi kebanyakan konsumen muslim, dan yang lebih penting lagi, bisa sebagai 'barrier' pangan impor yang gak jelas blas kehalalannya.
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H