[caption id="attachment_416937" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Mungkin kalau bicara persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia yang sudah tanda tangan tentu sudah menyadari konsekuensinya. Tetapi hiruk-pikuk politik, perubahan prioritas menyebabkan progres perlindungan industri, UMKM dan rakyat Indonesia sebagai konsumen dalam menghadapi pasar bebas ini seperti tidak terlihat. Beberapa hal yang penting dan urgent secara teknis dalam menghadapi pasar bebas ini masih terkendala. Di antaranya adalah:
1. Ketersediaan laboratorium. Lab ini harusnya tersedia di semua pintu masuk produk impor di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya mekanisme pengecekan hanya berdasarkan dokumen, tetapi seharusnya secara berkala ada uji petik sampling produk apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh pemerintah, terutama sekali mengenai kandungan berbahaya di dalam produk. Jika ada, produk bisa langsung ditolak.
2. Sulitnya pendaftaran produk lokal. Saya bertemu beberapa produsen pangan daerah, mereka harus datang bolak-balik ke Jakarta untuk memperoleh registrasi di BPOM. Berapa energi, biaya yang harus dkeluarkan oleh produsen lokal jika seperti itu? Bandingkan terhadap registrasi impor yang one stop service di BPOM, di mana pendaftaran hanya sehari. Aneh, pangan lokal jadi anak tiri.
3. Minimnya pembuatan standar produk Indonesia. Beberapa tahun lalu sempat dibuat list produk Indonesia, dengan bobot dampak terhadap perekonomian Indonesia untuk segera dibuatkan standarnya. Tetapi berhenti baru sekali pertemuan, dan assessment-nya juga berhenti. Padahal SNI bisa sebagai barrier produk luar untuk masuk ke Indonesia.
4.Mengadakan assessmen mengenai kondisi industri dan UMKM. Indonesia juga minim data mengenai kondisi rill industri domestik, termasuk UMKM termasuk level kualitasnya. Data ini penting banget agar pemerintah bisa melakukan intervensi perlindungan yang memadai melalui insentif di hulunya. Tidak semua industri ada di KADIN atau asosiasi, mungkin bisa ditelusuri di luar keanggotaan ini, karena masih ada paradigma industri cukup tertutup oleh pendataan karena khawatir 'diperas' oleh oknum tertentu.
5. Tidak adanya akses pengaduan terhadap produk yang masuk. Pemerintah harusnya menyediakan akses pengaduan ini, termasuk penangannya. Karena konsumen akan kesulitan komplain jika produsennya di negara sana sulit dimintai pertanggungan jawab atas produknya. Dan ini untuk memastikan bahwa yang masuk ke Indonesia bukan produk 'sampah' yang merugikan Indonesia.
Yang jelas, MEA sudah di depan mata. Di tengah keteteran Indonesia dalam mempersiapkan diri, kekuatan ada di diri rakyat Indonesia sebagai konsumen. Bersediakah kita memprioritaskan produk lokal dan bangga terhadap produk Indonesia?
Jika bahan baku impor, gula impor, garam impor, kenapa tidak dikurangi aja konsumsinya? Rokok pun sekarang impor masuk ke Indonesia, tembakaunya juga impor sebesar USD 500 juta. Jadi kurangi impor dari hal-hal yang kecil.
Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H