RUU Jaminan Produk Halal (JPH), setelah disetujui oleh DPR pada bulan September 2014, akhirnya disahkan oleh SBY diakhir pemerintahannya, tanggal 17 Oktober 2014. Jiahh, 3 hari sebelum pelantikan Jokowi, pantesan aja pada gak ngeh, RUU ini sudah disahkan.
Setelah ngulik-ngulik isi UU JPH, beberapa kejanggalan yang terdapat di regulasi ini antara lain adalah:
1. Mengapa semua produk harus punya kewajiban memiliki sertifikat Halal? Bahkan jasa juga! Ini terdapat di pasal 4 UU JPH yang menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Definisi produk disini terdapat di pasal 1, poin1, yaitu: produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Tidak ada penjelasan apa sih itu produk kimiawi, mosok pembersih lantai kudu sertifikat Halal? Atau barang gunaan itu bisa saja kursi yang dipakai, tas, AC, TV, harus pake sertifikat Halal gitu?
Yang jelas UU JPH ini jauh melampaui standard SMIIC (Standard and Metrology Institute for the Islamic Countries) yang baru mengharmonisasikan standar untuk Halal unggas dan daging. Paling tidak mereka fokusnya baru ke pangan dulu, tetapi benar-benar dari hulu ke hilir, sistemnya di benahi. Seperti di Malaysia, sistem gudang, container, distribusi sudah disiapkan sebaik-baiknya, sehingga pangan itu tidak tercampur.
2. Otoritas Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang super power. Didalam pasal 6 disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang mulai dari merumuskan kebijkan JPH, menetapkan standar, menerbitkan, mencabut sertifikasi Halal, melakukan registrasi produk, registrasi auditor, pembinaan auditor, pengawasan JPH hingga akreditasi terhadap LPH.
Biasanya, untuk mengurangi kesempatan melakukan korupsi, terdapat pemisahan otoritas antara pemberi ijin, yang melakukan akreditasi, hingga pengawasan dan pencabutan ijin.Tetapi didalam BPJPH semuanya dibawah satu kendali. Ini bisa jadi superbody karena otoritas yang sangat berlebihan.
Apalagi sebenarnya Indonesia sudah memiliki sistem sertifikasi yang cukup baik, dimana Standar dibuat oleh BSN (Badan Standarisasi Nasional), kemudian ada Lembaga Pemberi Sertifikasi (LSPro), yang harus terakreditasi di KAN (Komite Akreditasi Nasional). Jadi, mengapa tidak menggunakan sistem ini? Bisa saja BPJPH merupakan salah satu LSPro, yang harus teakreditasi oleh KAN, sehingga bisa mengeluarkan Sertifikat. Tetapi disini BPJPH melakukan fungsi sebagai LSPro, KAN dan BSN sekaligus. Siapa yang mengontrol lembaga ini?
3. BPJPH jadinya dibawah Kemenag? Padahal tadinya berharap badan ini lepas dari Kemenag dan independen, karena tugasnya yang sangat banyak itu. Lah urusan haji yang menyangkut uang saja belum profesional, gimana kelembagaan BPJPH?
4. Target waktu yang tidak realistis menyangkut kewajiban Halal bagi semua produk, yaitu 5 tahun (pasal 87). Ini dari pengalaman MUI yang sudah berpuluh tahun mendulang biaya sertifikasi Halal dari ribuan perusahaan, tetapi hingga kini, jaminan daging dan unggas yang dikonsumsi Halal atau tidak saja belum ada. RPH (Rumah Pemotongan Hewan) di Indonesia masih bermasalah, tingkat hyginietas, perlakukan terhadap hewan masih jauh dari standar Halal. Pembenahan RPH saja memakan waktu yang tidak sebentar, ini untuk semua produk?
Harusnya ada prioritas atau roadmap yang realistis. Misalnya, pembenahan pangan menyangkut unggas dan daging, sekian tahun, mulai dari hulu, logistik, distribusinya semuanya berstandar Halal. Bisa paralel dengan resto, makanan cepat saji, jajanan dan catering. Jadi yang prioritas dikonsumsi langsung konsumen yang didahulukan, sehingga bisa menimbulkan ketenangan.