Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Tangerang Menolak Sodetan Ciliwung; Pak Jokowi Mempertimbangkan Deep Tunnel?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13902480901014728154

[caption id="attachment_317168" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Hari ini, Jokowi, Ahmad Heriyawan, Walikota Bogor, Bupati Bogor, Wakil Bupati Bekasi, Depok, Walkot Tangerang, Balai Besar Sungai Ciliwung-Cisadane mengadakan pertemuan di Katulampa Bogor. Pertemuan di tempat sederhana ini membicarakan mengatasi banjir yang disebabkan oleh sungai Ciliwung. Salah satu alternatif yang merupakan program sejak lama Kemen PU adalah melakukan sodetan sungai Ciliwung ke Cisadane. Tetapi sayang, usulan itu ditolak oleh pemerintah kota Tangerang. Alasannya sih bisa dimengerti, karena dengan kondisi sungai cisadane yang sudah mulai tinggi ini, jika mendapat limpahan sodetan dari Ciliwung bakal bikin banjir Tangerang. Bukan saja Tangerang, tetapi juga kabupaten Tangerang dan Tangerang Selatan. Sulit memang mengatasi banjir Jakarta. Ada 13 sungai dari Jabar dan Banten yang bermuara di Jakarta. Apalagi dengan kondisi level tanah yang 40% sudah dibawah permukaan laut. Koordinasi lintas daerah juga susah diharapkan. Debit air yang masuk dan ada di Jakarta, semakin hari mesti semakin luar biasa besar, karena akumulasi debit sungai dari mulai hulu, limpasan hujan yang tidak terserap tanah, hingga aliran air yang tidak lancar. Jadi inget, ketika banjir tahun 2013, sebenarnya Jokowi sudah pernah membicarakan masalah Deep Tunnel ini. Deep Tunnel ini idenya sudah ada sejak masa Sutiyoso. Tahun 2007, sebuah tim dari Badan Regulator mempresentasikan  Deep Tunnel Reservoir System (DTRS)  ini kepada Sutiyoso. Dan kemudian, Sutiyoso mempresentasikan hal ini pula ke DPR RI. Tetapi sayang, mengapa ketika itu tidak dieksekusi ya? Konsep Deep Tunnel ini disebutkan sebagai 5 in 1. Jadi manfaatnya besar sekali, yaitu mengatasi banjir di Jakarta, menampung limbah DKI, menjadi reservoir air sebagai sumber air baku untuk air minum, konservasi air tanah, dan sebagai tempat pompa banjir.  Pengerjaannya tidak memerlukan lahan diatasnya. Jadi tidak ada penggusuran. DTRS ini akan menampung limpasan air terutama sekali dari daerah yang kerap banjir, yaitu bukit Duri, kampung Melayu, pintu air Manggarai, pintu air karet, Grogol, Banjir Kanal Barat dan Muara Angke. DTRS dibangun 100 m dibawah permukaan tanah. Ketika itu target pembangunan sepanjang 17 km, dan pemprov DKI masa Sutiyoso dengan Wakilnya Fauzi Bowo berharap pendanaan 75% dari pusat, 25 % dari pemprov. Di Singapura, Deep Tunnel sepanjang 70 km dibangun, biayanya Rp 18 Trilyun, memakan waktu 5 tahun. Begitu juga Smart Tunnel di Kuala Lumpur, juga membutuhkan waktu 5 tahun. Di Jakarta, karena hanya 17 km, diharapkan dalam waktu 1-2 tahun bisa selesai. Sayang, sekali lagi, pembangunan ini tidak dieksekusi. Padahal studi kelayakan sudah ada sejak tahun 2007. Jalur juga sudah dibikin, biaya sudah diperkirakan (Rp 4-5 Trilyun) tetapi tidak dibangun. Semoga sekarang Jokowi bisa membangunnya. Karena sulit mengharapkan kerjasama lintas daerah. Pemprov DKI saja yang menghitung, jika sepanjang aliran sungai hujan, ditambah juga hujan di Jakarta (berarti limpasan air yang tidak bisa terserap tanah) yang semakin jadi beton, berapa debit air yang kudu ditampung? Tidak ada yang bisa menahan laju pembetonan, baik untuk perumahan, jalan dstnya disepanjang sungai dan tanah. Teknologilah yang diharapkan mengatasinya. Cara-cara konvensional mengatasi banjir, tidak akan mempan, mengingat semakin hari debit air ini akan semakin besar sekali tumpah ruah di Jakarta. Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline