Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Masukan bagi Jokowi: Banyak Warga Kaya Bermental Miskin, Rawat Inap di VIP, Operasi Minta KJS

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13635963431678617296

[caption id="attachment_250141" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Tadi pagi ikutan rapat membahas evaluasi dan monitoring Kartu Jakarta Sehat alias KJS. Evaluasi ini memang bukan di atas kertas, tetapi harus turun ke lapangan, melihat kapasitas Puskesmas dan Rumah Sakit (RS) terutama milik daerah (RSUD) dalam melayani pasien KJS. Sistem KJS memang merupakan sistem yang sangat mempermudah warga DKI yang tidak mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebaik-baiknya. Hanya menggunakan KTP DKI, sudah bisa dilayani. Tidak ada batasan pembiayaan. Mau operasi, ICU, pengobatan maupun rawat inap (kelas tiga), semuanya ditanggung Pemprov DKI. Monev (monitoring dan evaluasi) memang baru dijalankan seminggu. Itupun baru percobaan, dievaluasi lagi metodologinya, dan akan fix minggu ini. Walau baru turun seminggu (aku belum ikut, baru akan minggu ini), ada beberapa hal penting yang ditemukan di lapangan. Yang pertama, ada indikasi kuat, bahwa secara etika beberapa pasien yang seharusnya tidak berhak mendapatkan KJS, ikut menggunakan KJS ini. Tentu saja ini akan mengurangi hak orang-orang dhuafa, yang benar-benar membutuhkan program KJS menjadi tidak terlayani. Indikasi itu terlihat dari beberapa kasus, diantaranya diungkapkan oleh seorang surveyor, ada kasus dimana seorang pasien ketika rawat inap di VIP (berarti mampu), tetapi kemudian ketika operasi, dia memakai program KJS sehingga gratis. Ini berarti pasien yang relatif lebih mampu ini telah mengambil hak orang yang lebih tidak beruntung darinya dalam mendapatkan program KJS. Kemudian, beralihnya pasien yang menggunakan Askes ke KJS. Tentu saja pasien Askes bisa dikatakan kelas menengah (PNS), yang sebenarnya juga sudah terlindungi oleh sistem asuransi. Tetapi masih menggunakan KJS, karena menganggap Askes lebih ribet, dan memakai batasan biaya (platform), sementara KJS sistemnya fee for service (berapapun biayanya akan ditanggung). Kalau Askes sistemnya kapitasi pelayanan. Selain Askes, peserta jamkesmas yang mendapatkan asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin, program pusat), juga beralih ke KJS. Ini juga karena askeskin memakai paltform tertentu dan lebih ribet, sehingga warga DKI lebih senang menggunakan KJS. Kalau peralihan ini, sebenarnya tidak masalah, karena pemegang askeskin memang orang-orang yang tidak mampu. Sekarang, pengguna KJS memang sangat membludak. Sehari rata-rata Puskesmas mendapat 200 pasien, dan RSUD sekitar 1000 pasien, meningkat sekitar 60-70%. Tetapi jika mereka memang sakit dan membutuhkan perawatan, memang kewajiban pemerintahlah untuk tetap melayaninya. Siapa sih yang mau sakit? Tetapi, aku memang masih mendengar nada gregetan pihak yang melayani. Karena masih euforia menggunakan KJS, masyarakat yang sekedar sakit ringanpun sekarang ke rumah sakit. Sekedar flu dikit, batuk dikit, bahkan panuan dikit pun ke rumah sakit! Ada juga yang memang minta dirawat inap, padahal menurut dokter bisa rawat jalan. Tetapi pasien mempunyai banyak cara supaya tetap rawat inap. Hal-hal inilah yang harus dicermati oleh dokter, seharusnya bisa tegas dalam memberikan indikasi medis! Makanya, sedikit usulan untuk sistem kesehatan DKI Jakarta. Selain memperkuat kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, kebersihan, dan penegakan aturan kawasan dilarang merokok (KDM), ada baiknya posyandu juga dititik beratkan dalam pengobatan sakit ringan masyarakat. Jadi bukan hanya berfungsi penimbangan bayi, dan pembagian makanan bergizi. Dengan cara ini, warga bisa sehat, dan pemakai KJS bisa berkurang. Kemudian, bagaimana jika mantri keliling dan bidan keliling dihidupkan kembali? Jadi memang ada di setiap kelurahan, petugas kesehatan yang wara-wriri menyambangi warga yang sakit. Di periksa dan diberi obat. Jadi gak perlu ke puskesmas atau rawat inap ke rumah sakit. Begitu juga dengan bidan keliling. Sehingga jika melahirkan bisa dirumah dan ditangani tenaga medis yang kompeten. Kecuali jika butuh tindakan tertentu, baru ke Rumah Sakit. Ya sudah gitu aja, semoga sistem pelayanan kesehatan semakin baik. Salam Kompasiana!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline