'LaYah, buku ini untuk apa?’ dengan heran aku mengamati buku yang baru saja dibeli ayahku. Ampun deh, ada belasan jilid, tebel tebel lagi. ‘Iya, ayah lagi pengen belajar agama’, kata ayahku simpel.
Ayahku ternyata bukan cuman ngomong. Buku yang jumlahnya belasan jilid itu dibaca ayahku dengan tekun. Ayahku juga jadi rajin sholat di musola mungil di rumah kami.
Aku inget, kejadian itu pas aku lagi SMP. Ayahku yang telah menyelesaikan studinya di Ohio AS, pulang dengan wajah baru. Ayahku jadi rajin ngaji di kampusnya. Aku heran aja loh. Soalnya ayahku bukan tipe religius, hehe. Malah kalau lihat foto foto semasa kuliah, sepertinya pakaian dan gayanya gaul banget. Bisa dibilang kaum abangan lah. Agama hanya di KTP saja.
Tetapi bukankah tidak ada kata terlambat untuk berubah? Dan kami jadi terikut juga. Soalnya jadi bisa berjamaah. Ayahku juga jadi rajin tahajud dan baca Al Quran. Yang paling aku suka kalo liat butiran wudhu di wajah ayahku. Kok seperti untaian cahaya, ya....
Memang, ayahku suka berjamaah dengan kami. Tetapi jika dengan teman teman ayahku atau keluarga yang datang berkunjung, ayahku suka gak mau jadi imam. Katanya, ‘ah, kan ayah cuma abangan. Ilmu agama ayah masih cetek’.
Begitu juga kalau diminta sedikit kutbah setelah selesai subuh. Ayahku suka enggan. Paling hanya membacakan surah Al Ma’un, ayat tentang ‘pendusta agama’ , yaitu orang yang menghardik anak yatim dan enggan memberi makan orang miskin..’, dan artinya dibaca blek, tanpa penjelasan.
Ayahku, belajar agama dan menjalankannya dalam senyap. Beliau hanya berusaha untuk menundukkan dirinya kepada sang ilahi. Berusaha untuk jadi orang jujur. Berintegritas. Dan kepekaannya kepada manusia lain, sungguh menjadi pelajaran berharga pula bagiku. Tidak bisa melihat orang lain susah. Berusaha membantu semampunya.
Bahkan menasehatin orang dengan dalil agama malah gak pernah. Yah itu, karena menganggap ilmunya masih dangkal. Ayahku cuma abangan. Gitu katanya.
Kehidupan ayahku menjadi orang yang ‘tunduk’ kepada-Nya, sungguh, itu adalah hijrah yang indah. Kini, sambil menyatukan kumpulan mawar yang kupetik dari halaman, aku meletakkannya didepan nisan ayahku. Dan sambil mengusap nisan dan berbisik penuh kerinduan, air mataku menetes.
Ini adalah hijrah yang lain. Dari fana ke baqa, ke keabadian. Di rengkuh oleh Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H