Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Menari bersama Alam; Mengintip Geliat Petani ber-Organik

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1349266999210336225

[caption id="attachment_216036" align="alignleft" width="150" caption="Pak Muzakir, ketua Aliansi Petani Indonesia (API), yang juga bertani organik. Foto by Ilyani"][/caption] Kemaren pas siaran radio soal pangan organik, ada seorang pendengar yang menceritakan pengalamannya mendampingin petani organik di NTT. Dia bilang, mete organik yang dihasilkan petani bisa dihargai $5 di eropa per bijinya! Bayangkan, hehe...Kalo di kita, itu mah dah harga mete sekilo kali ya. Tetapi begitulah, bagaimana pasar organik terus berkembang di dunia. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan permintaan untuk beras organik saja mencapai 22%, dengan nilai Rp 28 milyar (sumber: Newsletter Trust in Organic dari Euromonitor 'Packaged Food in Indonesia' , 2005). Tentu saja ini menggembirakan dan menjadi peluang yang menjanjikan bagi petani untuk beralih dari pertanian dengan sistem konvensional yang berbasis kimia (pestisida kimia dan pupuk kimia) ke pertanian organik. Pertanian organik mengandalkan sistem yang mandiri bagi petani untuk mampu memproduksi pupuk dari bahan alami (sampah, kotoran), dan pestisida dari bahan alami, seperti dari cabe dan daun tembakau. [caption id="attachment_216037" align="alignleft" width="150" caption="Beras organik produksi petani di Boyolali. Foto by Ilyani"]

1349267077693710180

[/caption] Walaupun tidak bisa ujug ujug 100% organik, karena residu kimia pestisida dan pupuk kimia mesti masih ada di dalam tanah. Biasanya butuh waktu sekitar 3 tahun untuk transisi dari konvensional hingga murni 100% organik. Tetapi inipun penggunaan bahan kimia sudah jauh berkurang. Dan sepulang dari Kairo, emang beberapa kali bertemu dengan temen jaringan, petani organik. Diantaranya dari Aliansi Petani Indonesia (API), dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Salah satu kendala ber-organik ini bagi mereka adalah karena lahan yang dipunyai petani sangat kecil (0,2 ha), kemudian biaya sertifikasi yang sangat mahal. Alhasil, mereka banyak yang hanya menggunakan jaminan komunitas bahwa ini organik, dan kemudian berdasarkan kepercayaan, bergerilya jualan langsung ke ibu ibu PKK atau ibu ibu RT. Dan ini juga memang nilai tambah juga bagi petani. Sudah mulai mikir soal penjualan, hehee. [caption id="attachment_216038" align="alignleft" width="300" caption="Persawahan. Foto by Muassis"]

1349267543920635519

[/caption] Mengenai harga, apakah memang mahal? Kalau untuk beras, harga di retail emang berkisar 2 hingga 3 kali lipat beras biasa. tetapi jika langsung ke KUD (koperasi petani) atau outlet khusus organik, harganya bisa jauh lebih murah (walau tetap lebih mahal dari beras biasa). Waduh, senang sekali memang, ketika mengintip geliat petani ini untuk berorganik. Serasa menari di alam, di tengah sawah, berputar putar dan melompat lompat....#lebayy mode on, hehee Membayangkan, bahwa tanah ini tidak 'disakiti' lagi oleh bahan kimia yang bisa persistent beribu tahun tanpa bisa didaur ulang. Mencintai alam, dan berupaya untuk harmonis bersamanya. Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana!



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline