[caption id="attachment_212891" align="aligncenter" width="427" caption="Coklat kemasan ini hasil produksi petani loh...Foto by Ilyani"][/caption] Beberapa hari yang lalu saya mengikuti acara yang dihadiri berbagai organisasi petani yang concern terhadap pertanian organik atau pertanian yang ramah lingkungan dan peduli terhadap peningkatan mutu hasil pertaniannya di Malang, Jawa Timur. Organisasi petani ini berasal dari macam macam kelompok, yaitu dari Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi petani organik Boyolali, Solo, kelompok petani kopi dan kakao NTT dan Sulawesi. Hal menarik yang saya lihat adalah beberapa produk yang punya nilai tambah, hasil dari produksi petani petani tersebut. Terutama untuk petani kakao di Sulawesi. Sudah umum di kalangan petani kakao, bahwa selama ini mereka hanya memproduksi kakao saja. Tetapi malah tidak pernah mengkonsumsi coklatnya. Coklat bagi mereka sudah seperti produk ekslusif yang mahal. Padahal, Indonesia itu penghasil kakao no.3 terbesar di dunia loh, setelah Pantai Gading dan Ghana. Dan 70% penghasil kakao Indonesia itu ada di Sulawesi. Tetapi penghasil produk coklat terbesar di dunia itu malah Amerika Serikat, Jerman, Swiss dan Belgia. Petani juga mempunyai posisi tawar yang sangat rendah. Karena harga ditentukan oleh pembeli. Bukan penjual. Ini juga karena Indonesia tidak punya organisasi petani per-komoditas pertanian yang kuat sih. Jadinya aja gampang dikibulin. Nah, suatu ketika, hasil jualan kakao petani Sulsel ini ditolak oleh pengepul di Makassar yang akan mengekspor kakao tersebut ke luar negeri. Disinilah petani menyadari betapa lemahnya posisi tawar mereka. Jadi, dimotori oleh beberapa petani, akhirnya mereka membentuk Kelompok Usaha Bersama Sibalireso di Luwu Utara, Sulsel. KUB ini kemudian mencoba mencari alat untuk memproduksi coklat. Dapatlah dari Dinas Perindustrian setempat, alat idle yang tidak terpakai lagi. [caption id="attachment_212892" align="alignleft" width="180" caption="Ini juga karya petani. Foto by Ilyani"]
[/caption] Dari coba coba produksi, akhirnya jadi deh produk coklat hasil karya petani ini. Kemasannya juga sudah sangat menarik. Bahkan produk coklat ini sudah dilirik oleh suatu perusahaan di timur tengah, untuk produk coklat yang diisi kurma itu. Sementara respon pasar lokal juga sangat baik. Nah, pas diliatin produk coklat gitu, aku langsung nyobain. Wah, ternyata enak banget. Walau masih terasa sangat manis (beda dengan suatu produk coklat ekslusif di Jogja yang pahit sekali namun enak), tetapi kelembutan dan lumernya langsung terasa di mulut. Langsung bikin perasaan jadi berbunga bunga penuh cinta, heheee Memang, dari segi rasa, para petani ini masih trial and error. Dan skala produksinya juga masih sedikit, hanya 50 kg/hari. Bandingkan dengan kapasitas produksi biji kakao petani yang puluhan ton perhari itu. Dari segi harga, petani yang memasukkan biji kakaonya kesini, mendapat selisih harga Rp 2500/kg, dibandingkan dijual ke pengumpul untuk eskpor. Jadi lebih menguntungkan memang. Selain itu, karena usaha ini bentuknya koperasi, hasil keuntungan produksi coklat ini tentunya juga akan kembali ke petani sebagai anggota koperasi, dalam bentuk SHU (sisa hasil usaha) setiap akhir tahun. Walau, kekhawatiran efisiensi tetap ada. Namanya usaha kecil, tentu kurang bisa efisien dibandingkan perusahaan besar. Tetapi jika sudah 'menguasai hulu', tinggal bagaimana untuk memperbesar alat produksi ditambah sistem manajemen SDM yang ok kan? Ini yang perlu didampingin oleh pihak atau otoritas terkait. Ya gitu deh. Semoga ini momen bagi petani kakao Indonesia yang jumlahnya jutaan ini untuk mampu mendobrak belenggu pasar. Berdaulat dan mandiri. Ya sudah, Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H