Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Kelangkaan Kedelai, Sebuah Ironi di Negara Agraris

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Akhirnya pemerintah memberikan bea masuk 0% kepada impor kedelai, setelah Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) melakukan aksi mogok. Padahal seharusnya bea masuk impor kedelai dikenakan tarif 5%.

Ini memang melegakan bagi pengrajin tahu tempe tersebut. Tetapi sungguh merupakan pengulangan kebijakan pemerintah yang tidak strategis bagi pengembangan kedelai dalam negeri.

Kejadian kali ini, merupakan kejadian yang sama tahun 2008 lalu, ketika harga kedelai menjulang naik.  Ketika itu pemerintah bukan hanya membebaskan bea masuk, tetapi juga memberi subsidi kepada kedelai impor sebesar Rp 1000.

Dan untuk meredam protes terhadap masalah ketahanan pangan, pemerintah memberikan 'janji' manis akan mengembangkan pertanian kedelai dalam negeri. Tetapi sayang, janji itu tidak terpenuhi. Bahkan setelah 4 tahun berlalu!

Mengapa pemerintah selalu gagal mengembangkan pertanian kedelai dalam negeri? Ada apa sebenarnya? Mengapa bangsa tempe ini, justru kedelainya impor dari AS? Beberapa alasan berikut ini merupakan rentetan kejadian yang membuat Indonesia sulit mandiri dalam pengembangan kedelai dalam negeri.

1. Saingan produk kedelai dalam negeri adalah kedelai produksi AS, yang nilai ekspornya pada tahun 2011 saja melebihi $35,7 billion. Produsen kedelai di Amerika Serikat mempunyai asosiasi kedelai (ASA) yang sangat kuat lobinya, termasuk lobi melalui kedubes AS.

Dan mereka memang agresif menjual di negara berkembang, karena negara maju menolak kedelai AS terkait masalah rekayasa genetik (transgenik). Produksi kedelai AS, 60% nya merupakan produk rekayasa genetik.

Dan negara negara seperti Korsel, Jepang, Uni Eropa, sudah mensyaratkan pemisahan, pelabelan, bagi produk transgenik, sesuai dengan perjanjian internasional Protocol Cartegena. AS tidak bisa memenuhi syarat ini (dan memang tidak mau meratifikasi Protocol Cartagena ini).

Tetapi melalui skema perjanjian internasional mengenai pertanian (Agreement on Agriculture) untuk melindungi produk pertanian unggulan, bea masuk yang tinggi bisa dikenakan bagi  impor produk pertanian. Dan anehnya itu tidak digunakan oleh Indonesia.

Apakah kedelai bukan produk strategis, mengingat kebutuhan Indonesia yang terus meningkat (sekitar 3 juta ton, 70% nya dipenuhi melalui impor!). Dan kurang strategis dimananya, mengingat tahu tempe merupakan makanan sehari hari rakyat.

Dan pada tahun 2011, nilai impor kedelai Indonesia dari AS mencapai $859 million (sekitar Rp 8,59 T). Itulah duit rakyat yang terserap ke AS. Dan Indonesia memang negara pengimpor terbesar ke-tiga kedelai dari AS ini, setelah China dan Meksiko.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline