Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Nobel bagi Tawakkul Karman, Perempuan Arab Pejuang HAM

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="476" caption="Tawakkul Karman, Sumber foto: Al Jazeera"][/caption] Tadi baru liat di BBC News, seremonial pemberian hadiah Nobel bagi 3 perempuan pejuang hak asasi manusia. Ketiga perempuan itu adalah Presiden Liberia, yaitu Ellen Jhonson Sirleaf, aktivis hak asasi manusia Liberia, Leymah Gbowee, dan  seorang lagi adalah perempuan Arab, aktivis hak asasi manusia di Yaman, Tawakkul Karman. Dan aku memang langsung fokus kepada Tawakkul Karman. Maklum, lagi tinggal di negeri yang keikutan Arab Spring (Mesir), jadi mau gak mau melihat strategis pemberian Nobel ke Tawakkul adalah untuk mempercepat perdamaian di negeri Arab sendiri. Kenapa Tawakkul? Ternyata melihat profilnya di wikipedia, perjuangannya terhadap gerakan kebebasan di Yaman telah berlangsung lama. Tawakkul mendirikan kelompok Jurnalis Wanita Tanpa Batas dan menjadi pemimpinnya, sejak tahun 2005. Wah, lama sebelum api revolusi membakar negeri negeri Arab donk. Kemudian, pada tahun 2007, Tawakkul juga menjadi pendukung layanan berita telpon genggam dan memimpin protes demi kebebasan pers. Dan hebatnya dia, protes ini dia adakan setiap minggu! Kemudian,  Tawakkul pula yang menjadi sosok utama pemberontakan di Yaman, tahun 2011. Dia dijuluki 'Wanita Besi' dan 'Ibu Revolusi' oleh rakyat Yaman. Dan alhamdulillah, pas hari H dia terima hadiah Nobel ini, sang Presiden mau turun. Semoga demokrasi yang hakiki bisa terjalin di negeri Yaman. Menilik apa yang dilakukan oleh Tawakkul dan pengakuan dunia internasional terhadapnya, maka betapa berartinya itu bagi pengakuan kebebasan perempuan Arab. Bahwa perempuan juga bisa berkiprah dengan maksimal bagi pemenuhan hak asasi manusia di negaranya. Memang, kalau menilik dari beberapa negara Arab, kalau kulihat, mulai dari Marokko, Tunisia, Libya hingga Mesir, perempuan memiliki kebebasan untuk berada di ruang publik. Kebebasan itu sangat berarti, sehingga banyak perempuan yang tampil sebagai analis politik, sosial, ekonomi dan berkiprah nyata dalam memperjuangkan nilai nilai yang fundamental seperti hak asasi manusia (HAM). Istilahnya jadi aktivis HAM. Sedangkan di negara Arab lain, seperti Yaman, Yordan, Uni Emirate Arab, Qatar, Kuwait, Oman, perempuan juga aktif secara politik dan sosial. Ya bebas kemana mana, termasuk menyetir atau olahraga sendiri. Walau di negara negara ini, perempuannya juga banyak yang masih memilih busana tradisional seperti jubah dan cadar. Tetapi, sekali lagi, itu pilihan sendiri. Sayang, satu satunya negara yang perempuan sangat dibatasi itu ya Arab Saudi. Kenapa ya? Padahal kalau aku baca sejarah Nabi, pas perang Uhud aja ada perempuan (Nusaybah dan ibu Anas) yang ikut perang membawa busur panah dan ikut melindungi Nabi yang terluka parah dengan busur panahnya. Selain itu, perempuan juga aktif terlibat sebagai pelindung politik, contohnya ketika Zaynab putri Rasul melindungi mantan suaminya yang musyrik, bin Ash yang kemudian diakui oleh Rasul bahwa perlindungan perempuan muslim kepada seorang musyrik diakui. Dan mereka juga aktif mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan hukum. Tetapi dimana itu sekarang di Arab Saudi? Kenapa perempuan demikian dikekang? Bahkan menyetir pun tidak boleh? Dan bekerja pun dibatasi? Semoga inpirasi Tawakkul Karman sampai hingga ke istana Raja Abdullah. Ya sudah, Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline