Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

RUU Penjaminan Halal; Otoritas Sertifikasi ke Kemenag & Pangan Wajib Halal?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13934052342028722943

[caption id="attachment_324859" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Selain masalah sertifikasi Halal yang diperjualbelikan, sebenarnya ada lagi masalah soal Halal ini yang masih menjadi polemik, yaitu pembahasan RUU Penjaminan Halal.

Dalam RUU Penjaminan Halal yang diajukan oleh Kementrian Agama ini, otoritas yang mengeluarkan sertifikasi diganti dari MUI ke Kementrian Agama. Kemudian, sertifikasi Halal yang selama ini sifatnya sukarela, akan dijadikan wajib dicantumkan di setiap produk pangan.

Inilah yang menjadi krusial. Kemenag sebagai regulator juga ingin sekalian menjadi operator. Menjadi tanda tanya, ada apakah ini? Apalagi jika menyangkut kewajiban Halal itu ke semua pangan beredar. Pekerjaan yang sangat luar biasa untuk mengassess dan melakukan audit apakah semua pangan itu Halal atau tidak.

Seharusnya Kemenag belajar dari pengalaman mengurus Haji. Di kepengurusan Haji, Kemenag juga berlaku sebagai regulator dan operator. Dengan 2 otoritas kekuasaan seperti ini, potensi penyalahgunaan kekuasaannya sangat besar. Apalagi dana haji menyangkut dana masyarakat, dana umat. Tetapi mekanisme transparansi pertanggungjawabannya ke publik sangat minim.

Kembali ke soal sertifikasi Halal, kenapa tidak dibuat simpel saja? Misalnya, negara membuat SNI (Standar Nasional Indonesia) mengenai Halal. Kemudian, lembaga sertifikasi harus sudah terakreditasi oleh Komite Akreditas Negara, sehingga ada sistem untuk pengeluaran sertifikasi Halal ini. Ada pre-market sebelum keluarnya sertifikasi Halal menyangkut inspeksi dokumen, uji petik lab.

Jika dokumen sudah menyertakan Halal, tinggal komunikasi/harmonisasi dengan lembaga terkait di negara asal. Tidak perlu membiayai ramai-ramai kunjungan ke negara asal, yang sangat membebani pelaku usaha.  Ini yang selama ini dilakukan MUI, selalu kunjungan ramai-ramai ke Australia, Amerika Serikat, China, Eropa,  dan lain-lain, dengan biaya dari pelaku usaha. Jika pun sangat dibutuhkan inspeksi karena ada kriteria yang mencurigakan, cukuplah 1 atau 2 auditor melakukan kunjungan untuk inspeksi. Jadi semua sudah ada sistemnya.

Apalagi jika nanti pasar terbuka ASEAN akan banyak harmonisasi Standar, termasuk Standar Halal, sehingga Halal di negara A akan diakui oleh Halal negara B.

Kemudian, ada juga pengawasan setelah barang beredar di pasar. Uji sampel, untuk melihat apakah masih memenuhi kriteria Halal.

Jika ingin lebih sederhana lagi, urusan Halal dicantelkan ke BPOM, yang selama ini tugasnya memang mengeluarkan pendaftaran ijin pangan, sudah memiliki mekanisme pengawasan pre-market dan post-market produk pangan di pasar. Nanti pengawasan ini dilakukan terintegrasi juga dengan pengawasan keamanan pangan yang dilakukan oleh BPOM. Tentu saja rujukan BPOM adalah SNI Halal, yang telah disahkan BSN dengan guideline oleh otoritas Keagamaan Indonesia. Jika terjadi masalah yang meragukan, baru bisa otoritas keagamaan terkait sebagai pihak advisor-nya.

BPOM sudah lumayan sistemnya. Termasuk mekanisme pengaduan oleh masyarakat dan public warning mengenai pangan yang beredar. Mereka juga sudah memiliki jaringan kemanan pangan di seluruh Indonesia, dan jaringan laboratorium yang kredibel. Jadi, kan sangat baik, jika Halal memang terintegrasi dengan keamanan, higienitas dan nutrisinya. Pangan halalan toyyiban. Dan pelaku usaha tidak perlu dua pintu untuk kepengurusannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline