Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

RS Mewah Ini Tidak Berfungsi karena Terkait Angelina Sondakh? Mengkritisi Sitaan KPK/Kejaksaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1393845856107203294

[caption id="attachment_325749" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/ Admin (usu.ac.id)"][/caption]

Ketika pulang ke Medan beberapa waktu lalu, saya melewati Kampus USU dan melihat RS ciamik yang baru dibangun. Terus ibuku bilang, liat tuh, RS bagus banget, tetapi gak difungsikan. Terus aku tanya kenapa? Ternyata karena RS itu dibangun oleh pihak Fakultas Kedokteran USU (?) dan ada kaitannya dengan Angelina Sondakh. Lah, apa disita KPK? Ternyata enggak, hanya karena pihak yang membangun khawatir ntar ada apa-apanya, mereka menstop pembangunan RS ini. Apalagi Angienya sendiri sudah ditahan.

Ya ampun, saya yakin biaya yang dikeluarkan bukan sedikit. Padahal kalau dibangun, betapa banyak masyarakat yang bisa merasakan fungsi pelayanan publik RS ini. Tetapi bangunan megah itu mubazir hingga kini.

Sayang banget. Bukan hanya RS ini yang idle, tidak terpakai. Kalau itu kekhawatiran sepihak, atau memang ada cacat hukum di tengah jalannya? Selain itu, banyak lagi bangunan/infrastruktur yang sudah mengeluarkan biaya bermilyar-milyar, tetapi tidak lanjut, tidak diteruskan karena memiliki masalah dengan hukum.

Yang menjadi pertanyaan saya, bisakah barang sitaan tersebut tetap dipakai untuk kepentingan publik, dengan klausul khusus dalam pemberantasan korupsi? Seperti kasus simulator SIM, KPK tidak bisa mensita semua alat itu, karena sudah terlanjur digunakan di kepolisian. Bahkan ketika hendak menyita di suatu daerah, polisinya sampai menyatakan, "lewati saya dulu' kalau mau menyita alat ini, karena kami sudah menggunakan untuk kepentingan masyarakat!' Toh akhirnya KPK hanya mengambil beberapa alat sebagai barang bukti.

Kasus lainnya yang lebih bikin miris lagi adalah apa yang terjadi di Medan. Kejaksaan (bukan KPK) menyita Pembangkit Listrik, karena dugaan korupsi di pengadaan barangnya! Padahal yang di Belawan ini termasuk pembangkit yang terbesar di Medan. Jadinya saja pembangkit ini tidak berfungsi melayani listrik di Medan. Makanya sodara-sodara, bayar pret di Medan makin parah.

Karena kasus korupsi Hambalang pula, pembangunan terhenti. Saya tidak tahu, sampai kapan? Apakah ada assessment kerugian negara pula, jika pembangunan ini tidak diteruskan?

Jadi, jika akan mengambil barang bukti, apakah ada klausul yang membolehkan suatu infrastruktur/bangunan publik tetap bisa difungsikan untuk melayani masyarakat? Pembangunan Indonesia akan terhenti, masalah akan mandek disitu-situ saja, jika tidak ada 'kebijakan' terkait kepentingan publik ini.

Kalau sitaan barang pribadi mah, silahkan KPK & Kejaksaan menyita semua rumah, mobil pribadi atau apapun yang terkait pencucian uang sang koruptor.

Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline