Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Ada 10 Profesor, 332 Doktor, 147 Magister/Master Terjerat Korupsi?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam suatu seminar di UI, wakil ketua PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan), Agus Santoso menyebutkan bahwa ternyata ada 10 Profesor, 332 Doktor (S3), 147 lulusan Magister atau Master, yang terjerat kasus korupsi.

Kalau Profesor diantaranya tentu adalah Prof. Nazarudin Syamsudin (UI), Miranda S. Gultom (UI),  Tafsir Nurchamid (UI), Burhanudin Abdullah (Padjajaran), Rusadi Kantaprawira (Unpad), Rokhmin Dahuri (IPB), Daan Dimara (Universitas Cendrawasih), Rudi Rubiandini (ITB), Abdus Salam (IAIN Cirebon), dan Zarkasih Anwar  (Unsri).

Kasus yang menjerat antara lain kasus di KPU (Nazarudin, Daan Dimara dan Rusadi Kantaprawira), kasus BI (Burhanudin & Miranda), dana nonbudgeter (Rokhmin), pengadaan barang di kampusnya  (Tafsir Muhamad, Abdus Salam & Zarkasih Anwar), dan suap tender minyak (Rudi Rubiandini)

Sementara yang Doktor atau Magister yang jumlahnya ratusan, pada umumnya memang pejabat publik. Diantaranya Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Syaukani Hasan Rais, Chairunnisa, dan sebagainya.

Mengapa para ilmuwan atau kelompok yang dianggap intelek oleh masyarakat ini bisa melakukan korupsi? Bukankah mereka harusnya menjadi teladan bagaimana menciptakan sistem pemerintahan yang bersih, transparan dan melakukan pelayanan publik sebaik-baiknya kepada masyarakat?

Ada beberapa hal sih menurut saya yang menyebabkan para intelek tersebut melakukan korupsi.

1. Integritas pribadi, sehingga tidak tangguh terhadap godaan apapun untuk menyalahi sumpah jabatan. Jadi, ada yang lebih tinggi daripada integritas pribadi ini, yaitu keserakahan, aji mumpung, loyalitas partai, loyalitas atasan.

2. Sistem di negara ini yang memang masih membuka celah yang lebar sekali untuk korupsi. Lihat saja mulai dari rekrutmen pejabat tinggi yang harus persetujuan DPR, apakah sudah murni tanpa suap? Semua pejabat tertinggi negara, penentuannya dilakukan oleh eksekutif-legislatif.  Beberapa kasus ketika pemilihan hakim agung misalnya, banyak pertanyaan mengapa si A yang track recordnya bersih tidak lolos, tetapi si B yang tidak jelas  malah lolos.

Begitu juga dengan sistem pengawasannya, juga masih sangat lemah.

Kekuatan korupsi di Indonesia memang mengerikan ketika seseorang menjadi pejabat publik, sehingga memang bisa menggerogoti profesionalismenya.

3. Cultural Shock. Sebenarnya ini terkait juga dengan integritas pribadi seseorang ya. Jadi ketika di kampus hidup seadanya, tetapi begitu jadi pejabat publik, kewenangan begitu besar, kesempatan begitu terbuka. Godaan ini bisa saja bukan hanya dialami oleh sang pejabat publik, tetapi keluarganya. Tuntutan keluarga untuk hidup mewah, semakin menjadi tekanan bagi pejabat yang bersangkutan. Gaya hidup berubah, dan tentu itu ada harganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline