Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Jokowi, Prabowo; Perlu Belajar kepada SBY soal Ini

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini adalah hari kedua meeting Civil Society saya di Geneva. Ada yang menarik ketika saya berdiskusi informal dengan seorang saintis dan aktivis Martin Khor mengenai Indonesia. Satu hal yang membuat saya kaget adalah ketika dia memuji Indonesia sebagai 'hebat', satu-satunya negara di dunia yang bisa mendapat 'Compulsary Licence' 10 item mengenai Obat Paten.

Compulsary Licence merupakan fleksibilitas didalam peraturan TRIPs (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) Agreement, dimana pemerintah diijinkan untuk memproduksi obat paten tanpa persetujuan dari pemilik atau perusahaan paten tersebut. Salah satu yang saya baca ketika tahun 2012,  Indonesia disebut mengambil langkah yang belum pernah dilakukan oleh negara lain dengan melakukan CL terhadap 7 obat paten HIV dan Hepatitis.

Walaupun disebut 'diijinkan' tetapi kenyataanya sangat sulit untuk mendapatkan CL tersebut. Makanya Indonesia hebat bisa dapet 10, dibandingkan dengan Thailand yang hanya 3, atau Malaysia yang dua (?). Untuk mendapatkan CL ini, pemerintah memang harus bisa teguh demi kepentingan akses rakyat terhadap obat,  karena akan berhadapan dengan lobi-lobi perusahaan raksasa farmasi global.

Dengan CL ini, berarti pemerintah tetap bisa mengupayakan akses pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat, terutama untuk program Jamkesmas atau Jaminan Kesehatan Masyakarat yang sekarang cakupannya diperluas menjadi JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional. JKN ini juga patut diacungi jempol, walaupun masih banyak perbaikan disana sini, tetapi ide dasarnya sangat bagus.

Salah satu contohnya adalah India, dimana CL-nya digugat oleh beberapa perusahaan raksasa Farmasi. Karena kalah di pengadilan India, malah sekarang pemerintah AS akan memasukkan India sebagai negara prioritas terkena 'sanksi perdagangan'. Di meeting yang saya hadiri ini, juga ada petisi 1000 tanda tangan CSO (civil society organization) untuk mendukung India 'melawan' AS tersebut di WTO.

Untuk kasus lain, pakar yang ada meeting saya ini juga masih ingat langkah heroik Menkes Indonesia ketika itu, Siti Fadilah Supari. Seorang aktivis dari Thailand, Chulalangkorn University menceritakan bagaimana ketika itu Ibu Fadillah berbicara di WHO menuntut transparansi data DNA sequencing virus yang dikirim negara berkembang  ke GISN (Global Influenza Surveilance Network).  GISN ini sangat berkuasa selama 50 tahun dan 110 negara miskin serta berkembang selalu mengirim spesimen virus ke sini.

Ternyata virus ini dikirim ke Los Alamos New Mexico, AS, dibawah Kementrian Energi AS. Akhirnya, atas upaya sangat keras Menkes Indonesia ini, pertama kali dalam sejarah, data itu dibuka oleh WHO dan GISN diubah namanya menjadi GISRS (Global Influenza Surveillance and Response System) dengan mekanisme yang lebih terbuka (ada database untuk sharing)! Majalah The Economist saja memuji langkah Indonesia ketika itu sebagai revolusi transparansi!

Jadi, tak pikir-pikir selama masa pak SBY ini, lumayan juga langkah Indonesia secara internasional. Terutama terkait dengan kebijakan terhadap perjanjian internasional dan korporasi asing.

Ini adalah salah dua contoh (kan dua, hehee). Yang lainnya adalah mengenai perjanjian internasional. Kalau ini saya diberi tahu oleh perwakilan Indonesia di UN mengenai Lingkungan Hidup, yang menyebutkan progres perjanjian internasional terkait genetic resources di Indonesia baru-baru lalu, dimana sumber daya genetik (SDG) Indonesia harus digunakaan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Dan jika ada perusahan asing yang memanfaatkannya, maka negara miskin dan berkembang yang memiliki SDG tersbeut harus bisa mendapatkan 'sharing' atas penggunaannya. Ini sangat penting, karena berapa banyak SDG yang diambil dan dimanfaatkan, kemudian dipatenkan, sementara negara berkembang atau negara miskin tidak mendapatkan bagiannya.

Selain itu, tentu saja mengenai UU Minerba yang berlaku mulai tahun 2014 ini, yang bikin gerah negara maju yang memiliki perusahaan tambang disini. Ancaman akan membawa regulasi ini ke WTO terus mengemuka. Termasuk keengganan Freeport untuk mematuhinya, juga mematuhi negosiasi ulang mengenai pembagian hasil dengan Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline