Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Efektifkah KUA untuk Konsultasi Pernikahan/Perceraian?

Diperbarui: 4 April 2017   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (tribunnews.com/istimewa)

[caption id="" align="aligncenter" width="597" caption="Ilustrasi/Kompasiana (tribunnews.com/istimewa)"][/caption] Setiap minggu kami, para calon haji DKI Jakarta mendapatkan bimbingan manasik di daerah KUA di wilayah kecamatan masing-masing. Kebetulan saya dan suami di KUA Jakarta Selatan sini, dan bimbingannya setiap Sabtu-Minggu pukul 08.00 teng. Pertemuan pertama, ternyata pembimbingnya gak dateng. Katanya mau nikahin orang dulu. "Apa? Mo nikah lagi?"kata calhaj yang dah sepuh, hehee. "Bukan pak, tapi nikahin orang!" kata peserta yang lain, hihii. Maklum, pembimbingnya merangkap penghulu nikah. Setelah menunggu 2 jam sambil ada yang ngomel-ngomel, 'amplop nikahnye gede kali yee, sampe kite dianggurin', atau 'gimana sih, pakai kasih tahu kek, nah kite dah datang dari jauh-jauh, masa gak dapet ilmunye',  yang lain pada nyabar-nyabarin, inget mo haji loh! akhirnya pada bubar dah kite. Ini memang kesalahan komunikasi dan manajemen yang parah, tetapi minggu depannya KUA mengundang pembimbing haji yang lain, yang ternyata mumpuni sekali. Malah peserta belum datang, bapak ini sudah menunggu setengah jam duluan di KUA dan penjelasan materinya keren pisan. Nah, ketika menunggu itu, saya sempat lihat-lihat banner dan grafik di KUA mengenai pernikahan. Sayang, datanya hingga tahun 2012 saja. Grafik pernikahan dari tahun 2010-2012 itu yang menarik saya lihat, pernikahan paling banyak di bulan November (196-202 pernikahan). Kenapa ya, apa karena menjelang musim hujan? Naon, hehee. Sementara bulan dimana orang paling gak doyan nikah itu bulan Agustus (5-9 pasangan saja yang menikah). Kemudian, ada juga grafik perceraian, tetapi 0 (nol). Beneran nih, kagak ada yang cerai? Ternyata itu tidak terdata saja.Yang menarik, ada banner besar sekali mengenai konsultasi pernikahan/perceraian. Jadi saya tanya-tanya ke bapak petugas KUA nya, apakah banyak yang datang untuk konsultasi jika akan bercerai? Katanya banyak juga sih, tetapi banyakan dari kecamatan lain. Katanya takut tetangga pada tau. Terus, saya tanya, kenapa pada mau cerai? Eh si bapak bilang, karena sekarang jamannya perempuan pada kerja. Jadi, sekitar 80% yang menuntut cerai itu adalah perempuan. Alasannya bisa macam-macam, kadang hanya masalah sepele. Yang jelas si bapak cerita, kalau sudah dinasehatin, pada manggut-manggut saja bilang 'iya'. Tetapi sampai rumah, berantem lagi. Yang parah, si bapak menyambung, kalau perempuan pada curhat kepada teman sekantor lawan jenis mengenai kondisi rumah tangganya.  "Mana yang dicurhatin lelaki buaya lagi. Lihat kek gini langsung maen samber aja." Kata si Bapak. Bisa jadi si perempuan akhirnya beneran cerai karena mengharap lelaki buaya ini, eh lelakinya setelah habis manis ya sepah dibuang. Di Indonesia, angka perceraian memang meningkat tajam selama 10 tahun terakhir. Menurut Wamenag, ada 212.000 perceraian di Indonesia, dan 80%nya dilakukan oleh pasangan muda. Ini meningkat 4 kali lipat, karena sebelumnya hanya 50.000  kasus perceraian saja. Perceraian sungguh membawa dampak yang signifikan bagi suatu keluarga, baik bagi psikologis anak-anak dan juga bagi peningkatan kemiskinan. Makanya, penting sekali konsultasi pra-nikah dilakukan, begitu juga konsultasi pra-cerai. Jika kalangan menengah ke atas bisa mengakses konsultan rumah tangga untuk kasus pernikahannya, bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? KUA adalah tempat yang paling tepat dan strategis menurut saya. Mengapa? 1. Bisa diakses oleh kebanyakan pasangan, terutama pasangan espas alias ekonomi pas-pasan dan diharapkan konsultasinya kalau bisa gratis, hehee. Bisakah dikelola dari ZIS? Karena untuk Jaksel saja ZISnya bisa Rp 23 M loh! 2. Kalau sudah diguyur pake ayat, biasanya pasangan yang mo cerai langsung adem, menurut, ego masing-masing yang ketinggian direndahkan. Kalau bisa langsung bikin komitmen anti perceraian yang dilakukan oleh masing-masing. Lah, maen tembak aja bikin komitmen hahaa. Ini bedanya orang teknis nulis ma orang psikologis, hehee 3. Masyarakat merasa familiar, tidak sungkan, karena dari awal pernikahan sudah diwanti-wanti oleh lembaga yang sama. Kan mengurus menikahnya di lembaga ini, terus penghulu nikah hingga nasihat pernikahannya juga ada disini. Tetapi, sekali lagi posisi strategis ini yang masih kurang disadari oleh KUA. Kalau bisa dipromosikan sebesar-besarnya kepada masyarakat konsultasi pernikahan gini. Kemudian, ahli-ahlinya juga menguasai psikologis, dan tidak anti-gender. Kadang, suka terlalu mojokin salah satu pihak kan gak bener juga. Ya sudah deh gitu aja. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline