Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Hatta, GMO dan Paten Monsanto, Perusahaan Benih Terbesar Dunia dari AS

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1404144707733920870

[caption id="attachment_345615" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/ Kampret (Arif Subagor)"][/caption]

Salah satu poin debat tadi malam adalah ketika di menit 22.10 Hatta Rajasa menyebutkan masalah genetic modified organism atau GMO yang disebutkan merupakan inovasi dari LIPI dan BPPT. Penyebutan GMO ini langsung menyulut teman di FB yang sedari dulu memang sudah advokasi mengenai kedaulatan pangan untuk mengkritisi keras soal GMO ini.  Hatta Rajasa merupakan Menristek pada tahun 2001-2004, dan GMO dianggap sebagai salah satu inovasi kebanggaan sang cawapres.

Jika ingin Indonesia berdaulat pangan, tentu GMO bukanlah solusi untuk mengatasi masalah pertanian Indonesia. GMO lebih mengukuhkan dominasi perusahaan asing untuk menguasai aspek pertanian Indonesia dari hulu hingga ke hilirnya. Teknologi GMO merupakan teknologi yang dikuasai patennya oleh segelintir perusahaan benih dunia, diantaranya Monsanto  (juga perusahaan pestisida), yang menguasai 90% pasar dunia untuk benih GMO.

Apa itu GMO? Genetic Modified Organism (GMO) atau transgenik dalam bidang pertanian merupakan teknologi pertanian dengan melakukan penyisipan gen makhluk asing ke suatu tanaman. Misalnya, yang sudah masuk ke pasar dunia adalah benih jagung atau kedelai yang disisipkan bakteri Bacillus thuringensis (Bt), sehingga tanaman tersebut tahan diserang hama. Seluruh sel tanaman bisa mengeluarkan 'racun' yang bisa mematikan serangga hama tanaman. Apakah tanaman pangan ini aman? Ini ada kajiannya tersendiri.

Tetapi apakah Indonesia bisa memilikinya? Nah itu, saya pernah bertemu peneliti LIPI yang mengembangkan beras transgenik tahan kekeringan. Temuan sang peneliti ini tidak bisa dipatenkan, karena sequence DNA beras (termasuk pangan & tanaman utama dunia lainnya) sudah dipatenkan oleh Monsanto dan perusahaan benih terbesar dunia lainnya. Jadi dia tidak bisa mengklaim itu sebagai temuannya.

Yang ada, perusahaan benih raksasa ini sangat ngotot ingin 'bermain' di pertanian Indonesia dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan memaksakan introduksi benih melalui berbagai institusi.

Contoh kasus kegagalannya adalah ketika Monsanto (melalui perusahaan Monagro Kimia) melepas kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Padahal ketika itu litbang pertanian sudah memiliki benih kapas unggulan, yaitu kapas Kanesia, tetapi karena tidak dikembangkan, malah impor benih asing kapas GMO melalui Monagro Kimia ini.

Dengan klaim tingkat produksi gila-gilaan, petani 'dipaksa' untuk memakai benih ini. Ternyata hanya dalam masa 3 kali panen, benih ini gagal ditanam. Hasil produksi jeblok, tanaman diserang hama dari jenis yang lain (wereng hijau), sehingga petani sangat dirugikan. Ketika petani rugi, perusahaan dan pemerintah lepas tangan mengenai ini. Penanaman transgenik memang beda di negara 4 musim dimana hamanya sangat terbatas. Sementara hama di Indonesia, keanekaragaman hamanya termasuk tertinggi di dunia.

Benih GMO adalah paten segelintir perusahaan benih dunia. Paten ini dikontrol secara ketat oleh perusahaan. Bahkan jika petani secara tidak sengaja menanam benih turunan kedua dari tanaman transgenik, petani bisa digugat ke pengadilan. Kemudian harga benih dikontrol oleh perusahaan. Sedangkan benih transgenik yang lain, benih RR, malah sekalian dengan paket pestisidanya yang juga merupakan jualan perusahaan yang sama. Jadi, petani akan bergantung sepenuhnya kepada perusahaan ini.

Paten, benih transgenik, dan dominasi perusahaan besar dunia atas sistem pertanian Indonesia, bukanlah solusi kedaulatan pangan. Lebih baik mengembangkan inovasi benih unggul sendiri, misalnya hibrida, silangan, atau dengan sistem pertanian lain yang bisa dimiliki sepenuhnya oleh peneliti Indonesia dan dapat diterapkan secara mandiri oleh petani. Bahkan inovasi petani juga seharusnya bisa dihargai, karena beberapa petani  juga melakukan penelitian mandiri menghasilkan benih yang unggul untuk sistem pertaniannya.

Ya sudah, gitu saja. Salam Kompasiana!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline