Lihat ke Halaman Asli

Ilyani Sudardjat

TERVERIFIKASI

Biasa saja

Mengkritisi 'Kebocoran' Hatta Soal Impor?

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini juga merupakan poin debat yang diutarakan oleh Hatta Rajasa mengenai impor yang dilakukan selama pemerintahannya. Aneh sekali, benarkah impor untuk warga asing? Itu alasan Hatta mengapa impor?

Kebetulan, pada tanggal 17 Juni 2014 saya ikutan diskusi di acara Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia). Acara ini membahas pengenaan pajak barang mewah (PPnBM) untuk telepon seluler (ponsel). Pada acara ini, selain saya, hadir juga perwakilan Kementerian Keuangan yang membicarakan alasan pengenaan pajak tersebut, juga hadir para pelaku usaha.

Ada yang menarik di acara tersebut. Data Mastel menyebutkan bahwa ada 250 juta ponsel yang digunakan di seluruh Indonesia. Jumlah yang sangat besar, bahkan lebih besar dari jumlah penduduk Indonesia, karena banyak yang memiliki ponsel lebih dari 1 per orangnya. Ponsel itu lebih dari 90%-nya murni impor dari luar negeri. Bayangkan berapa arus uang yang keluar dari Indonesia demi ponsel tersebut.

Untuk ponsel yang legal, dikenakan pajak 17,5%. Tetapi yang perlu diketahui, ternyata ada 40-70% ponsel yang beredar adalah black market (BM)! alias pasar gelap yang tidak membayar pajak! Ketika saya menyebutkan angka 70%, dengan entengnya perwakilan Kemenkeu itu bilang, bisa jadi 80% ponsel yang beredar berasal dari pasar gelap! Mengapa kemenkeu tidak 'mengejar' mereka untuk membayar pajak?

Jawab kemenkeu: oh itu bukan tugas saya mengawasi barang beredar, tetapi tugas Kementerian Perdagangan!

Sayang, Kementerian Perdagangan tidak hadir. Tetapi bukankah ada Kementrian Koordinasi Perekonomian yang seharusnya menyinergiskan setiap upaya di bidang perekonomian Indonesia? Perwakilan Kemenko yang datang terlambat sekali bilang, ok ini sebagai masukan.

Jelas, pasar gelap ponsel merugikan Indonesia dalam 2 hal: pertama karena tidak membayar pajak, sehingga negara dirugikan puluhan triliun (asumsikan sendiri 70% x 250 juta ponsel x rata-rata harga ponsel x 17,5% pajak). Ok deh, kalau memberantas mafia impor ponsel gak bisa langsung 70% yak, tetapi paling tidak ada upaya yang signifikan dilakukan, sehingga ada penurunan BM ini di Indonesia.

Kedua, menggerus kompetisi sehat dengan produk legal, terutama sekali menggempur produk lokal yang sedang tertatih-tatih hendak tumbuh. Bayangkan, industri lokal ponsel Indonesia persyaratannya harus dengan modal Rp 1 Triliun dulu (ini keluhan dari pengusaha langsung). Juga tidak ada insentif dari pemerintah dalam bentuk apa pun untuk mulai serius mengembangkan industri ponsel ini. Jangan bayangkan yang canggih-canggihnya. Bahkan untuk aksesoris pendukung yang remeh-temeh, Indonesia masih impor!

Sementara di China, usaha ponsel (bukan provider, tapi chasing dan aksesoris pendukung seperti charger) begini bisa dilakukan dengan skala rumahan. Bahkan China mewajibkan charger harus produk lokal. Kelihatannya sepele, hanya charger doank, tetapi liat donk skala konsumsinya di China, miliaran orang! Yang kecil-kecil diurusin, tetapi uang rakyat bisa berputar ke domestik, tidak lari ke luar negeri! Ya kalau pasar domestik Indonesia, ya 250 juta ini.

Jadi, dengan melihat BM di depan mata seperti diakui oleh Kemenkeu bisa mencapai 80% dari pasar ponsel, apakah kita bisa menyatakan bahwa eksistensi mereka yang tidak bayar pajak ini karena 'menyetor' sejumlah pelicin kepada oknum pengambil kebijakan, pengawas barang? Bahkan dari pintu masuk impor, juga Kemenkeu bilang 'sulit' mendeteksi. Padahal salah seorang narasumber menyatakan gampang sekali jika mau mengawasi. Yang penting mau atau tidak?

Pada acara diskusi ini, peran Kementerian Informasi juga dikritisi keras, karena sama dengan chasing ponsel, provider content atau internet pun tidak memiliki kantor di Indonesia. Baru Google, tetapi WA, FB, belum punya. Padahal mereka kan suka ngiklan juga. Tetapi lagi-lagi ya tidak bayar pajak, karena posisi tawar pemerintah untuk bisa bernegosiasi agar mereka bisa buka kantor di Indonesia sangat lemah. Malah cenderung cuek dan tidak mau tahu. Padahal potensi pemasukannya juga sangat besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline