Aku duduk di kursi pesakitan bukan sebagai seorang terdakwa, tetapi sebagai pendamping. Sosok perempuan yang duduk di samping. Wajahnya pucat pasi dan ketakutan, sambil menunduk memainkan kuku-kuku jari tangan.
Ini pertama kali dia keluar dari kamar gelap, berukuran tiga kali dua meter yang menjadi tempat persembunyiannya selama beberapa minggu belakangan.
Saat ini kami berada di tengah ruangan dengan sisi sebelah kiri di balik meja kayu ada dua wanita memakai toga. Mereka jaksa penuntut.
Di sisi kanan ada dua laki-laki. Yang satu memakai kemeja putih berpeci. Di sampingnya seorang laki-laki bertubuh besar memakai jas hitam. Mereka adalah tersangka serta pengacaranya
Tiga hakim berada di depan kami. Seorang laki-laki sebagai hakim ketua dan diapit dua hakim perempuan. Ini pengadilan khusus anak-anak jadi tertutup untuk umum. Ada sembilan orang di ruangan tersebut.
Pertama hakim menanyakan identitas si korban.
"Nama Adelia, usia 15 tahun, betul itu namamu?" perempuan disebelahku hanya mengangguk.
Setelah itu hakim menunjukkan baju yang terlihat noda berwarna merah.
"Apakah baju itu milikmu?"
Adelia hanya diam, tertunduk sambil sesekali mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Entah dia mendengar pertanyaan hakim atau tidak. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ketika ditanya ke dua kalinya Adelia hanya menggeleng.
Hakim perempuan yang duduk di sebelah kanan mengambil sesuatu dari nampan kayu.