Lihat ke Halaman Asli

Ilham Paulangi

Peminat masalah budaya, komunikasi, dan demokrasi.

Benar Mana; KPU atau Bawaslu?

Diperbarui: 5 September 2018   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perdebatan soal caleg eks-koruptor telah mewarnai media online dan layar televisi belakangan ini. Seakan tak ada habisnya. Padahal masa penetapan caleg sudah sangat dekat. 

Bawaslu dan KPU punya pandangan berbeda. KPU menolak caleg eks koruptor, Bawaslu membolehkannya. Penyebabnya, KPU cenderung menggunakan persfektif moral yang berkembang dari opini masyarakat, bahwa koruptor sudah tak layak untuk mewakili rakyat, seperti tertuang dalam PKPU.  Sedangkan Bawaslu cenderung mengikuti moral hukum yang bersumber dari hukum positif, bahwa semua orang punya hak yang sama di depan hukum, termasuk eks napi asal diumumkan ke publik, seperti tertuang dalam Undang-undang.

Sebagai masyarakat awam, kita cenderung dibuat bingung manakah diantara mereka yang benar? Kita juga agak bingung, mengapa persoalan sesimpel ini membuat kegaduhan berlama-lama, padahal di negari ini begitu banyak pakar dan ahli yang mengerti hukum.

Justru dengan peristiwa  ini, beberapa hal akhirnya dipertanyakan kembali. Diantaranya, adalah konsep pemasyarakatan. Apakah orang-orang yang bersalah yang telah dihukum memiliki posisi politik yang berbeda dengan orang kebanyakan.

Kalau dianggap beda,  berarti konsep pemasyarakatan kita layak dipertanyakan kembali. Berarti konsep pemasyarakatan dianggap tidak berjalan sesuai filosofinya, bahwa pemasyarakatan adalah proses mendidik kembali orang-orang yang berasalah tersebut untuk kembali ke masyarakat sebagaimana masyarakat pada umumnya. 

Lalu, apakah secara moral orang-orang yang sudah terbukti dan sudah pernah dihukum masih dapat dipercaya untuk mewakli rakyat. Apakah masih boleh ada stigma moral pada mereka. Dan mengapa masih ada dilema hukum sekaligus dilema moralitas di sini.

Kemudian dari sisi penerapan hukum, apakah opini moral dari masyarakat, boleh didengar dan langsung menjadi peraturan dari lembaga tertentu seperti KPU? 

Kalau ini dibolehkan,  tentu saja  secara moral sangat baik, karena bisa mempercepat aspek-aspek moral yang diperjuangkan oleh publik untuk menjadi sebuah kebijakan. Hanya saja, hal ini memiliki resiko, jika diberlakukan secara umum, karena bisa menjadi kontroversi pada aspek-aspek moral yang masih prokontra. Artinya aspek kepastian hukum menjadi agak rawan, karena hukum positif sangat mudah diintervensi oleh aspirasi moral dari publik.

Tak ada jalan lain, memang yang terbaik saat ini adalah menyerahkan masalah ini sepenuhnya kepada mahkamah agung atau mahkamah konstitusi, agar kegaduhan disudahi. Walau agak telat tapi, untuk saat ini, mungkin itulah pilihan terbaik. Hanya saja, masalah waktu, apakah bisa mengejar jadwal yang ada?

Hanya memang agak disayangkan bahwa menghadapi, sebuah perhelatan akbar,  seperti pemilihan umum, ternyata masih ada celah-celah hukum yang belum beres. Padahal pemilihan umum merupakan indikator utama dari sistem demokrasi sebuah bangsa. Mungkin ini yang harus menjadi perhatian untuk penyempurnaan demokrasi ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline