Lihat ke Halaman Asli

Ilham Paulangi

Peminat masalah budaya, komunikasi, dan demokrasi.

Mitos Pribumi Malas

Diperbarui: 3 September 2018   05:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mitos pribumu malas." Masih ingatkah dengan adagium ini? Ini adalah diskursus intektual yang pernah populer paruh tahun 1980-an. Perdebatan dalam membicarakan strategi kebudayaan Indonesia, sebagai otokritik terhadap budaya sendiri. Ketika itu, para intelektual kita  mencari jawaban mengapa rakyat Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain.

Sebenarnya diskursus ini tak pernah benar-benar tuntas dibicarakan, utamanya di kalangan pemikir ilmu-ilmu sosial budaya. Pertanyaannya, apakah benar-benar kaum pribumi itu malas, atau hanya mitos belaka?

Sebenarnya mitos ini agak meragukan. Karena tak ada yang menyangsikan bahwa bangsa Indonesia memiliki potensi kerja yang luar biasa. Semua mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah pekerja keras.

Francis Fukuyama, seorang pemikir kaliber internasional, memiliki pandangan sendiri, dalam melihat, bagaimana sebuah bangsa bisa maju atau tertinggal. 

Dia menekankan pada aspek aspek modal sosial. Semakin besar aspek modal sosial yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, atau sebuah bangsa, maka semakin besar kemungkinan mereka akan berhasil.

Menurutnya, modal sosial memiliki tiga komponen penting. (1) trust; (2) jaringan; (3) nilai-nilai.

Fukuyama menggambar soal trust ini dalam sebuah cerita, dari seorang keluarga mafia di Cicilia, Italia.

"Seorang laki-laki kecil sedang berdiri di ketinggian kira-kira tiga meter. Di bawahnya, seorang laki-laki setengah baya, mengembangkan tangannya dan memberinya perintah untuk segera meloncat turun. Si anak kecil terlihat ragu dan agak ketakutan, sementara si lelaki setengah baya, ayah anak itu, dengan sorot mata yang memancarkan paksaan mendesak anak itu untuk segera meloncat turun. Beberapa saat kemudian huppp...si anak meloncat turun. Buuummm...Sang ayah tidak menangkap tubuh kecil anaknya melainkan membiarkannya meluncur menghantam tanah. Kesakitan dan kebingungan, si anak menatap bapaknya sambil setengah menangis. Sang bapak berkata pelan, "Jangan pernah percaya kepada siapapun, termasuk ayahmu".

Ini gambaran Fukuyama, tentang masyarakat yang sangat miskin dengan modal sosial. Nilai-nilai yang berkembang adalah, "jangan percaya kepada siapapun".

Fenomena ini sebenarnya, seringkali hadir dalam keseharian masyarakat kita. "jangan percaya pada kelompok itu, jangan percaya pada suku ini, jangan percaya pada mereka". Wacana ketidak percayaan adalah hal sering kita jumpai dalam dunia sosial, bisnis, dan investasi. Seakan-akan kita meletakkan tingkat kepercayaan pada masing-masing kelompok atau latar bekakangnya. Pendeknya, "jangan percaya pada bangsa sendiri".

Mitos-mitos seperti ini, sebenarnya menggambarkan miskinnya modal sosial bangsa. Miskin dari sisi trust, otomatis menjadikan kita miskin dari networking pula. Karena pada punggung kepala kita tertanam "jangan percaya" tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline