by Andi Ilham Paulangi
Dunia kehidupan saat ini, dicirikan dengan makin sempitnya ruang kesepahaman. Kondisi ini seiring dengan makin kompleksnya realitas kehidupan sehari-hari manusia. Akibatnya, berbagai realitas yang dihadapi cenderung untuk ditematisasi dan diproblematisasi. Singkatnya, manusia menjadi semakin kritis memandang realitas di sekeliling mereka.
Ruang kesepahaman yang sempit menjadikan manusia enggan menerima begitu saja realitas di sekelilingnya. Mereka cenderung melakukan tematisasi terhadap informasi, dan gagasan dan wawasan yang diterimanya. Mereka cenderung mempersoalkan apa yang mereka konsumsi, layanan yang mereka terima, dan kebijakan yang menyangkut kehidupan publik. Mereka cenderung mempersoalkan semua hal yang menyangkut kehidupannya. Di masa lalu, pada kondisi masyarakat yang penuh kesederhanaan, individu bersama individu lainnya, cenderung berkomunikasi tanpa perbedaan pandangan yang tajam, realitas keseharian begitu mengalir. Berbagai kenyataan hidup, cenderung diandaikan begitu saja.Interaksi antar individu dijalani tanpa banyak perdebatan dan argumentasi. Manusia lebih mudah menerima realitas yang dihadapinya. Perubahan ini menurut Jurgen Habermas -- seorang pemikir dari Mazhab Frankfurt --- merupakan akibat dari semakin meningkatkan desakan 'sistem' (system) terhadap 'dunia kehidupan' (labenswelt).
Sistem yang dimaksudkan di sini adalah sebuah sistem kehidupan yang dipengaruh oleh sistem kapitalistik, yang termanifestasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, budaya, komunikasi, dan sebagainya. Sedangkan dunia kehidupan (labenswelt) merupakan ruang-ruang kultural, ruang-ruang tradisi, ruang-ruang komunikasi, dan ruang membangun cara berpikir yang sama. Ruang tersebut merupakan horizon kehidupan bersama individu dengan individu lainnya. Horizon kebersamaan tersebut semakin mengalami degradasi, distorsi, bahkan manipulasi. Dunia kehidupan (labenswelt) yang semakin terdesak tersebut menyebabkan krisis dunia kehidupan.
Ruang Publik
Interaksi dan komunikasi yang tadinya mengalir, berubah manjadi arena yang sangat diskursif dan cenderung bersifat disintegratif. Untuk mengatasi problem diskursif dan disintegratif tersebut, manusia dituntut untuk dapat menerima dan mengatur prilaku komunikasi dengan cara yang berbeda dari era sebelumnya. Mereka dituntut untuk menjadi makin rasional, sekaligus dituntut untuk mampu membangun alasan-alasan rasional. Sekaligus juga mampu menghasilkan kesepahaman secara intersubjektif, dan mampu mencapai konsensus rasional.
Kondisi seperti ini mengakibatkan perlunya situasi dan kondisi untuk memperluas kembali ruang kesepahaman tadi. Ruang kesepahaman tersebut hanya bisa dilahirkan melalui kehadiran dan penciptaan ruang publik. Konsep ruang publik, sebagaimana diperkenalkan Habermas dalam bukunya The Structural Tranformation of Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1989). Ruang publik (public sphere) berbeda dengan wilayah publik (public space). Menurut Habermas, ruang public (public sphere) adalah suatu prosedur komunikasi, dimana warga negara bebas untuk menyatakan sikap mereka, karena ruang publik dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warga negara untuk menggunakan kekuatan argumen. Jadi ruang publik adalah sebuah kondisi komunikasi, bukan sekedar tempat berkumpul bagi sejumlah orang. Dan bukan pula sebagai organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat.
Warung Kopi
Sejarah ruang publik tidak dapat dipisahkan dari kemunculan warung-warung kopi pada era kapitalisme awal, pada abad ke 13 di Eropa. Warung kopi dapat menjadi ruang publik baru ketika itu. Menjadi arena diskursus bagi warga masyarakat yang sedang bertumbuh dari masyarakat feodal ke masyarakat borjuis. Ciri utama dari interaksi di warung kopi adalah sifatnya yang lebih spontan, otentik, dan komunikatif. Hubungan antar individu di warung kopi cenderung bersifat asimetris dan tidak hirarkis, status sosial tidak begitu penting, bahkan sangat cair. Dari rakyat biasa sampai pejabat tinggi, dari buruh sampai pemilik modal, semuanya dapat berbaur, saling melempar gagasan, dan saling adu argumentasi.
Ciri lain warung kopi adalah, tema dan isu yang dibahas tidak lagi melalui agenda setting dan perangkingan, sebagaimana sering terjadi pada diskusi formal atau konten media arus utama. Kondisi di warung kopi memungkinkan sebanyak mungkin partisipan terlibat dalam arena diskursus. Partisipan bebas menyampaikan gagasan dan tema, secara spontan. Tema-tema yang dibahas pun tak terbatas, dari cerita nostalgia sampai ramalan masa depan, diskusi batu kerikil sampai batu permata, cerita pemilihan RT sampai pemilihan presiden, dan semua hal yang menyangkut kehidupan. Semua dibahas sepuasnya tanpa pembatasan-pembatasan.
Arena diskursus yang penuh spontantanis, tanpa distorsi dan manipulasi, memungkinkan lahirnya masyarakat komunikatif. Membangun kembali horizon kebersamaan yang telah hilang. Memungkinkan untuk memperbesar kembali ruang-ruang kesepahaman yang selama ini mengalami penyempitan. Komunikasi seperti ini pada akhirnya menciptakan ikatan yang kuat, melahirkan intergrasi sosial. Kedamaian dan kebahagiaan pun dapat tercurah untuk warga masyarakat sekitarnya. jadi secara teoritik, warung kopi cenderung tak melahirkan anarki., justru berpotensi menyatukan.