Lihat ke Halaman Asli

Beberapa Faktor Lumpuhnya Ekonomi di Daerahku

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : riaupos.co"][/caption]

Sebagai pelaku usaha kecil menengah, sedikit banyaknya penulis mengalami sendiri dampak dari melemahnya ekonomi di daerah penulis, tepatnya di Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir – Riau. Pelan tapi pasti, pasca tahun baru 2015 hingga saat ini daya beli masyarakat berkurang, salah satu faktor pendukung melemahnya daya beli masyarakat akan suatu produk adalah produksi buah kelapa sawit dan merosotnya harga karet ditingkat petani hingga 50 % dari biasanya. Serta gaji Pegawai Negeri Sipil yang tak kunjung diterima hingga berbulan-bulan menjadikan semakin melemahnya perputaran ekonomi di daerah penulis.

Berikut beberapa faktor versi penulis :

Produksi Buah Kelapa Sawit Yang Menurun (Terek)

Produksi Buah Kelapa Sawit yang menjadi komoditas utama di kabupaten Rokan Hilir dan sekitarnya pun menurun atau disebut juga “Terek”, tak ubahnya menjadi kebiasaan atau langganan petani kelapa sawit disetiap tahunnya, namun kali ini bisa dibilang yang paling parah ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Selain berlangganan musim terek, petani kelapa sawit juga tidak bisa mengelak dari harga yang turun hingga 50% disaat buah kelapa sawit mengalami puncak produksi, jadi disamping produksi menurun, ketika produksi puncak, jangan harap harga tidak menurun, cuma hati abang ajanya dek semakin hari semakin melemah terus, halah :D .

Faktor ini lah yang termasuk faktor paling vital diantara faktor lainnya karena banyak menyerap tenaga kerja, seperti buruh panen, buruh muat/bongkar, serta buruh perawatan pohon kelapa sawit yang sangat bergantung disektor kelapa sawit sebagai pelaku ekonomi, tidak terkecuali juragan buah kelapa sawitwalau hitung-hitungan hasil produksi buah kelapa sawitnya masih cukup untuk makan tujuh keturunan menurut kacamata awam seperti penulis, namun jika dilihat dari sisi gaya hidup serta biaya perawatan lahan kelapa sawit, sepertinya golongan mereka lah yang lebih terpuruk dalam hal ekonomi. Seperti penuturan Marketing Mobil salah satu merek keluaran Jepang, sangat mengeluhkan merosotnya penjualan serta banyaknya kredit macet kendaraan truk disektor kalapa sawit yang mana adalah juragan yang sangat tergantung disektor kelapa sawit tersebut.

“Sudah dua bulan ini belum ada penjualan, hanya mengandalkan gaji pokok. Padahal sebagai marketing, kami diprioritaskan untuk menjual kendaraan. Namun apa daya, juragan-juragan buah sawit ekonominya sedang galau”ujar salah satu marketing kendaaran kepada penulis.

Harga Karet Yang Belum Bersahabat

Disamping buah kelapa sawit yang menjadi komoditas utama disektor pertanian, karet adalah termasuk nomor dua. Harga yang belum bersahabat tentunya sangat menggangu perekonomian. Ditingkat petani harga karet berkisar antara Rp.3000, s/d Rp.4000, bahkan sebagian petani enggan menyadap pohon karetnya, karena sudah tidak sesuai dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Salah satunya pak Agus, disamping memiliki lahan karet yang tidak seberapa, beliau juga seorang tukang pangkas. Sebelum harga karet anjlok, biasanya pak Agus dengan rutin menyadap pohon karetnya dari pagi hari hingga tengah hari, beliau pun sudah bisa membuka kios pangkasnya lepas Adzan Dzuhur. Namun tidak dengan beberapa bulan terkahir ini, pohon karet sengaja tidak disadap karena hasil yang tidak sesuai, pak Agus pun membuka kios pangkasnya dimulai pagi hari.

“Paling mahal harga getah (baca, karet) Rp.4000, dan paling banyak perminggunya menghasilkan 80 kilogram. Berarti rata-rata penghasilan dari karet untuk setiap bulannya berkisar Rp.1.280.000,”tuturnya kepada penulis menjelang sholat jumat 27/02/2015.

Sementara biaya hidup didaerah perbatasan Riau-Sumut ini terbilang cukup tinggi. Lanjutnya lagi, jika dibandingkan dengan hasil jasa pangkas sehari, misal 8 kepala dikali Rp.12.000, dalam sebulan bisa mengumpulkan Rp.2.100.000, sedangkan sadapan karet harganya tidak setabil dan tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin tinggi.

Pegawai Negeri Sipil Tak Kunjung Gajian

Disamping kedua faktor diatas, salah satu faktor yang begitu diidam-idamkan ketika ada lowongan, yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tak kunjung gajian hingga 60 hari. Salah satunya pegawai kecamatan sedikit mengeluh gaji yang tak kunjung tiba, dan salah satu anggota Satpol PP pun pernah menyebutkan, jika hal ini berlarut-larut, secara tidak sengaja menyuruh pegawai negeri untuk “nakal”. Tidak dipungkiri memang, gaji yang lancar saja tidak sedikit oknum-oknum PNS yang “nakal”, apalagi sampai digantungnya gaji mereka, otomatis sistem birokrasi didaerah kami cenderung pelayanan akan semakin menurun, atau bahasa gampangnya “kalau bisa dipermudah ngapain dipersulit”.

Disektor ini, memang tidak begitu signifikan melemahkan sistem perekonomian, tapi perlu diingat, dengan “uang masuk” pas-pasan diluar gaji, otomatis daya beli berkurang, lagi-lagi pedagang UKM yang paling terkena imbasnya. Disamping petani kelapa sawit dan petani karet, pegawai negeri pun biasanya ikut berperan dalam perputaran ekonomi pedagang skala menengah, tidak terkecuali skala atas ikut mengalami penurunan penjualan.

Karyawan PT. Perkebunan Swasta dan Pemerintah

Begitu juga dengan karyawan perusahaan dibidang perkebunan kelapa sawit milik pemerintah dan swasta, terutama dibagian pengolahan buah kelapa sawit atau yang sering disebut Pabrik Kelapa Sawit (PKS) ikut terkena dampaknya.

Dibulan-bulan biasa, para karyawan pada umumnya kerap kali mendapat jam lembur karena produksi buah kelapa sawit masih stabil, namun tidak dengan saat ini, sisa gaji para kryawan perkebunan hanya menerima gaji Rp.300.000, setelah dipotong meja pinjaman kredit lunak dari pihak perbankan yang sebelumnya membuat nota kesepahaman dengan perusahaan. Salah satunya karyawan PKS milik pemerintah, sebut saja pak Budi, untuk kebutuhan sehari-hari beliau harus mengebon belanjaan di koperasi perkebunan, dan kadang kala sering menerima gaji yang ada tanda minusnya alias tekor bin menor. Untuk menyiasati gaji yang sering tekor, pak Budi dan beberapa karyawan lainnya mencoba bercocok tanam sayur mayur dilahan sekitaran PKS yang masih kosong.

Lain halnya dengan mas Jarwo, beliau menyiasati gaji yang sering tekor mencoba mencari sampingan menjadi pengasah batu akik dikala selepas kerja. Yang mana batu akik tersebut menjadi tenar dikala krisis ekonomi yang disebabkan oleh beberapa faktor diatas, mau tidak mau, suka tidak suka, beliau sandarkan nasib dengan batu gerinda untuk mengasah batu akik.

“Piye meneh, sing penting halal mas. Suka tidak suka, mau tidak mau ya harus mau, harus suka, lumayan bisa buat nambah-nambah penghasilan” ujarnya ketika mas Jarwo singgah dikediaman penulis.

Begitulah menurut penulis beberapa faktor yang melemahkan sistem perekonomian didaerah penulis. Mudah-mudahan saja faktor lain yang tidak penulis sebutkan, tidak ikut-ikutan menjadi faktor utama melemahnya perekonomian. Dan semoga kami, kita semua lepas dari lemahnya ekonomi ini, lebih lagi harapan penulis ketika bangun tidur besok pagi sudah ditahun ketiga masa jabatan Pak Presiden Joko Widodo, Aamiin...

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline