[caption id="" align="alignnone" width="640" caption="Stasiun Depok Baru"][/caption] Seperti biasa, malam itu adalah malam yang hiruk pikuk bagi sebagian orang di Jakarta. Ditambah fakta bahwa malam itu adalah malam Sabtu, ketika kemacetan semakin merajalela di seluruh penjuru kota karena orang-orang ingin bersantai selepas lima hari kerja yang melelahkan. Walaupun saya tinggal di Depok, namun saya cukup beruntung karena ada sarana KRL (Kereta Rel Listrik) yang menghubungkan Jakarta-Depok tanpa perlu merasakan kemacetan yang semakin parah. Saya hanya menyebut cukup beruntung karena mungkin derita roker (rombongan kereta, sebutan gaul untuk para penumpang kereta) berada di level yang berbeda dengan derita pengguna jalan raya, artinya kami sama-sama butuh perjuangan lebih untuk sampai ke rumah dan beristirahat. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang hingga sampai ke stasiun depok baru, tempat saya biasa mendarat dari kereta, saya akhirnya bisa menghirup udara segaaarrrr.... Maklumlah, kereta yang saya tumpangi cuma judulnya saja yang kereta AC, ya maksudnya AC alam, hehe... Belum sampai saya melangkah keluar stasiun melewati penjaga tiket, terdengar suara teriakan orang yang disambut dengan kalimat oleh sekerumun orang, "siapa tuh siapa? Tangkep!! hajar...!!". Suasana menjadi hiruk pikuk dan terlihat laki-laki berbadan besar memukul orang di dekatnya sembari berteriak, "Handphone gw mana?? Handphone gw mana??". Ternyata copet! Langsung saja, orang-orang berteriak tadi menyerbu ke arah copet itu, dan seketika itu juga copet itu dipukuli. Dengan bermodalkan kepalan tangan, bangku, kotak buah dari kayu, atau apapun yang bisa diraih disekitar tempat itu, orang-orang dengan semangat memukuli dan menyiksa copet itu. Copet tersebut semakin tak berdaya dan hanya bisa pasrah sembari terhuyung, mulai merasakan efek hantaman. Tak tega menyaksikan kelanjutan adegan tersebut, saya buru-buru kabur saja ke tempat parkir motor tempat saya menitipkan motor sebelum berangkat kerja. Namun dari tempat itu ternyata masih terlihat jelas proses "penyiksaan" yang terjadi. Bukannya mengambilkan motor saya, penjaga motor malah semangat menyaksikan proses main hakim itu. Setelah suasana agak mereda karena copetnya sudah digiring ke tempat lain -mungkin tempat yang lebih terbuka agar lebih mudah nyiksanya-, saya sempatkan diri mengobrol dengan penjaga motor tentang kejadian ini. Dia kemudian dengan bersemangat bercerita bahwa kejadian semacam itu sudah sering terjadi di stasiun depok baru. Kalau ada yang ketahuan melakukan tindak kejahatan, pasti akan langsung habis dikeroyok. Bonyok babak belur sampai ditelanjangi adalah akhir cerita yang biasa menimpa penjahat yang nahas. Pernah juga ada yang sampai mati karena kepalanya ditimpa oleh batu. Bahkan pernah ada kejadian tiga orang yang mengaku TNI babak belur di depok baru. Konon katanya tiga orang anggota TNI berbaju sipil tersebut berkelakuan sok di dalam kereta dengan mengaku sebagai anggota TNI dengan hanya bermodalkan kartu tanda pengenal. Sontan saja mereka diturunkan dari dalam kereta di stasiun depok baru lalu dihajar habis-habisan. Dari hasil percakapan dengan penjaga parkir itu, saya baru tahu bahwa stasiun depok baru adalah tempat yang angker bagi penjahat yang kepergok. Katakanlah seorang copet citayam ketahuan mencopet di citayam, maka ia masih mungkin selamat karena banyak temannya. Namun tidak di depok baru! Jangankan copet yang berasal dari stasiun lain, copet lokal di depok baru bahkan siapapun yang berani berbuat macam-macam pasti akan berakhir tragis. Sebagian orang disini tidak segan-segan untuk menghakimi para penjahat, dan hal itu hanya dilakukan oleh segelintir orang, karena sebagian besar orang yang melihat kejadian tersebut hanya bisa tertegun dan takut. Tak jelas apa yang ada dalam pikiran sebagian dari mereka, kenapa mereka tega melakukan hal tersebut; apakah karena kerasnya hidup, rasa kesal yang berlebihan terhadap ketidakadilan, atau sekedar kesempatan untuk meluapkan emosi. Justru beruntung bagi penjahat jika polisi segera datang, namun sial jika sang penegak hukum tak jua datang. Dari kejadian tersebut, terlihat jelas realita di Indonesia bahwa orang mudah sekali untuk menghakimi penjahat kelas teri. Seringkali kita dengar kasus di berbagai belahan tempat di Indonesia bahwa ada orang yang mencopet, menjambret, atau mencuri ayam berakhir dengan berlumuran darah karena diamuk massa. Namun jangan sekali-sekali berharap ada ending cerita yang sama untuk penjahat kelas kakap. Mereka kan tinggal sewa pengacara untuk membela diri, kabur keluar negeri untuk melarikan diri, atau bahkan keluar penjara sesuka hati kalaupun akhirnya mereka diputuskan bersalah oleh pengadilan. Itulah hukum di Indonesia, bagai pisau, tajam di bawah namun tumpul di atas. Saya jadi lucu jika membayangkan hal yang sama menimpa koruptor. Orang-orang yang melihatnya akan meyerbu sambil berteriak, "Koruptor...koruptor...! Tangkeep, hajaaarrr...!!!" Hehehe, yang ada malah orang-orang tersebut semuanya masuk penjara dengan dakwaan penyiksaan, tindak kekerasan, dan pelanggaran hak asasi. Koruptornya? Yaa bebas laah, kan ada uang... :D sumber: http://bit.ly/qVsvL4 gambar: http://depok-expose.blogspot.com/2010/07/stasiun-depok-baru.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H